BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang
tinggi di antaranya mengandung mineral, vitamin, dan lemak tak jenuh. Protein
dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan pengganti sel-sel tubuh kita yang telah
rusak. Selain air, protein merupakan bagian utama dari susunan (komposisi)
tubuh kita. Protein dalam ikan berguna untuk mempercepat pertumbuhan badan
(baik tinggi maupun berat), meningkatkan daya tahan tubuh, mencerdaskan otak /
mempertajam pikiran dan meningkatkan generasi / keturunan yang baik. Ikan
memiliki kadar protein yang sangat tinggi yaitu sekitar 20 %. Di samping itu
protein yang terkandung dalam ikan mempunyai mutu yang baik, sebab sedikit
mengandung kolesterol dan sedikit lemak (Fauzioyah, 2005).
Agar memudahkan kita mendapatkan zat gizi yang ada pada ikan maka
diperlukan industri yang mampu melakukan pengolahan ikan. Pengolahan ikan ini
dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah
serta memaksimumkan manfaat hasil tangkapan maupun hasil budidaya. Industri
pengolahan ikan telah banyak tersebar khususnya di Indonesia yang merupakan
negeri bahari. Berbagai jenis produk telah dihasilkan dengan berbagai merek (Fauzioyah,
2005).
Sebagai Negara bahari, Indonesia dilimpahi dengan potensi sumber daya laut,
tidak terkecuali dalam wilayah perairan Sulawesi. Potensi tersebut sangat
beragam dalam jumlah yang besar, salah satu dari sumber daya laut yang menjadi
kekayaan Indonesia adalah ikan. Ikan adalah satu diantara bahan makanan protein
yang paling mudah mengalami pembusukan. Pembusukan ikan terjadi setelah ikan
ditangkap atau mati, dimana pembusukan dapat menyebabkan perubahan dalam bau
dan rasa yang berakibat menurunnya mutu ikan (Fauzioyah, 2005).
Proses kemunduran mutu kesegaran ikan akan terus berlangsung jika tidak
dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal,
baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri
maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Faktor
biologis (internal) tidak mudah ditangani karena berkaitan
dengan sifat ikan itu sendiri (Astawan, 2007).
Salah satu masalah yang
timbul pada sektor periknan adalah dalam mempertahankan mutu. Mutu ikan dapat
terus dipertahankan jika ikan tersebut ditangani dengan hati-hati, bersih, dan
disimpan dalam ruangan ikan lebih cepat memasuki
fase rigormortis dan berlangsung lebih singkat. Jika fase prerigormortis tidak
dapat dipertahankan lebih lama maka pembusukan oleh aktivitas enzim dan bakteri
tersebut menyebabkan perubahan yang sangat pesat sehingga ikan memasuki fase
post rigor. Fase ini menunjukkan bahwa mutu ikan sudah rendah dan tidak
layak untuk dikonsumsi (Astawan, 2007).
Ikan harus memiliki tingkat mutu yang tinggi untuk memenuhi permintaan
pasar yang kian meningkat tetapi ikan merupakan makanan yang bersifat mudah
rusak. Kualitas produk hasil ikan identik dengan kesegaran. Penanganan harus memiliki atau peranan penting untuk memperoleh nilai jual
ikan yang maksimal. Salah satu faktor yang menentukan nilai jual ikan dan hasil
perikanan yang lain adalah tingkat kesegarannya (Astawan, 2007).
1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa lebih memahami tingkat kemunduran
mutu ikan, sehingga dapat membedakan sampai sebatas mana ikan layak untuk di
kunsumsi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistematika Ikan
Sistematika ikan-ikan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain
sebagai berikut :
2.1.1. Ikan Nila (Oreochromis
niloticus)
Menurut Fauzioyah
(2005), sistematika ikan nila (Oreochormis
niloticus) adalah sebagai berikut :
kingdom :
Animalia
filum : Chordata
kelas :
Pisces
ordo :
percoidae
famili : chicilidae
genus :
Oreochromis
spesies :
Oreochromis niloticus
Ikan nila adalah sejenis ikan konsumsi air tawar. Ikan ini diintroduksi dari Afrika pada tahun 1969, dan kini menjadi ikan peliharaan yang populer di
kolam-kolam air tawar dan di beberapa waduk di Indonesia. Nama ilmiahnya adalah Oreochromis
niloticus
dan dalam bahasa
Inggris dikenal sebagai Nile Tilapia. Genus Oreochromis merupakan genus ikan yang beradaptasi tinggi dan mempunyai
toleransi terhadap kualitas air dengan kisaran yang lebar. Genus ini dapat hidup dalam kondisi lingkungan
yang ekstrim sekalipun karena sering kali ditemukan hidup normal pada habitat-habitat yang ikan air tawar dari jenis lain tidak dapat hidup. Ciri ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah garis vertikal yang berwarna gelap di sirip ekor sebanyak enam buah, di sirip punggung (dorsal), sirip dubur (anal), berpunggung tinggi dan rendah (Fauzioyah, 2005).
Ikan nila yang masih kecil belum tampak perbedaan
alat kelaminnya. Setelah berat badannya mencapai 50 gram, dapat diketahui perbedaaan antara jantan dan betina. Untuk membedakan antara ikan jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati seksama lubang genitalnya (kelamin sekunder). Pada ikan jantan, warna tubuhnya lebih gelap, tulang rahang melebar ke belakang yang memberi kesan
kokoh, terdapat lubang anus dan satu lubang genital yang berupa tonjolan
agak kecil meruncing sebagai saluran pengeluaran air kencing dan sperma. Rasio jumlah ikan jantan dan betina ideal adalah 3:1, yaitu jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan. Padat
penebaran disesuaikan dengan wadah atau kolam budidayanya. Bila ikan nila dipelihara dalam kepadatan populasi yang tinggi, pertumbuhannya kurang
pesat. Kualitas air yang kurang baik akan mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi lambat (Fauzioyah, 2005).
2.1.2 Ikan Patin ( Pangasius Pangasisus)
Menurut Bahar (2006), sistematika
ikan patin (Pangasius pangasius)
adalah sebagai berikut :
kingdom
: Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Ostariophsy
famili : Pangasidae
genus : Pangasius
spesies : Pangasius pangasius
Ikan
patin memiliki warna tubuh putih agak keperakan dan punggung agak kebiruan,
bentuk tubuh memanjang, kepala relatif kecil, pada ujung kepala terdapat mulut
yang dilengkapi dua pasang sungut yang pendek. Pada sirip punggung
memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan
besar di sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya
simetris. Ikan patin tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif panjang
yang terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan
sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Memiliki sirip dada 12-13 jari-jari
lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal
dengan patil, di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat sirip lemak yang
berukuran kecil (Bahar, 2006).
Ikan
Patin nama Inggrisnya Catfish, yang
termasuk dalam Famili Pangasidae,
Ikan Patin bersifat nocturnal (lebih
banyak melakukan aktivitas di malam hari), juga sifatnya yang Omnivora (pemakan
segala macam makanan), antara lain cacing, serangga, udang, ikan yang
kecil–kecil dan biji–bijian , bahkan sabun detergen batangan (Bahar, 2006).
Ikan
Patin, termasuk ikan dasar, dapat terlihat dari bentuk mulutnya yang terletak
lebih kebawah, dan habitat ikan ini di sungai–sungai besar , dan muara– muara
sungai, dan tersebar di Indonesia, Myanmar dan india (Bahar, 2006).
Banyak kerabat Ikan
Patin ini yang termasuk dalam keluarga Pangasidae ini, antara lain yang
tersebar di Indonesia pada umumnya memiliki ciri–ciri bentuk badannya sedikit
memipih, tidak bersisik atau ada yang bersisik sangat halus, mulutnya kecil dan
ada sungutnya berjumlah 2-4 pasang yang berfungsi sebagai alat peraba, terdapat
Patil/panting pada sirip punggungnya juga sirip dadanya, sirip duburnya panjang
dimulai dari belakang dubur hingga sampai pangkal sirip ekor (Bahar, 2006).
2.1.3
Ikan Sarden (Sardinella
lemuru)
Menurut Fauzioyah
(2005) sistematika dari ikan sarden (Sardinella
lemuru) adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Malacopterygii
family : Cluipeidae
genus : Sardinella
spesies : Sardinella lemuru
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Malacopterygii
family : Cluipeidae
genus : Sardinella
spesies : Sardinella lemuru
Ikan sardin tersebar
diseluruh perairan Indonesia melebar sampai ke utara sampai Oknawa dan ke
selatan sampai ujung utara Australia ke barat samapai ke Afrika Timur. Ikan
sardin betina memiliki ciri bentuk badan memanjang perut bulat dengan sisik
duri 12-18 buah. Sirip perut sedikit menonjol dari pertengahan lebih dekat
kearah moncong. Sirip punggung berjari-jari lemah 15-18 sedangkan sirip
belakang 18-20, terdapat sisik tambahan pada sirip perutnya. Lapisan insang
halus berjumlah 36-42 buah. Hidup di perairan pantai lepas dan pemakan plankton
halus. Warna badan ikan sardin bagian atas berwarna biru kehijauan, bagian
bawah berwarna putih perak, totol gelap pada bagian atas badan, siripnya
abu-abu kekuningan, sirip ekor kehitaman sedikit kotor (Fauzioyah,2005).
2.2. Fase- fase Kemunduran Mutu Ikan
Menurut Nurjannah et al, (2004) fase-fase kemunduran mutu ikan
adalah:
Tahap prerigor terjadi selama 2 jam setelah ikan dimatikan. Tahap ini
ditandai dengan jaringan daging ikan yang mash lembut dan lentur serta adanya
lapisan bening di keliling tubuh ikan yang terbentuk oleh peristiwa pelepasan
lendir dan kelenjar bawah kulit.
Tahap Rigormortis terjadi selama10 jam setelah ikan dimatikan dengan daging
yang kaku. Nilai 5 merupakan ambang batas kesegaran ikan. Cirri-ciri ikan yang
memiliki nilai 5 adalah sebagai berikut: bola mata agak cekung, pupil
keabu-abuan karena agak keruh. Insang menampakkan diskolorasi merah muda dan
berlendir. Sayatan daging mulai pudar banyakkemerahan. Pada tulang belakang bau
seperti bau asam, konsistensi agak lunak, mudah menyobek daging dari tulang belakang.
Proses perubahan ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim,
mikroorgnisme dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran
ikan menurun.Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya
perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan. Setelah ikan mati, berbagai
proses perubahan ini akhirnya ,mengarah pada pembusukan. Urutan proses
perubahan yang terjadi pada ikan adalah perubahan prerigor, rigor, aktivitas
enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi.
2.3. Perubahan Fisik Ikan
Setelah Mati
Menurut Adawiyah (2007), kesegaran ikan dapat dilihat dengan metode yang
sederhana dan lebih mudah dibandingkan dengan metode lainnya dengan kondisi
fisik, yaitu:
1. Kenampakan luar : ikan yang masih segar mempunyai
penampakan erah dan tidak suram.
2. Lenturan daging ikan: daging ikan segar cukup
lentur jika dibengkokkan dan akan segera kembali ke bentuknya semula apabila di
lepaskan.
3. Keadaan mata: perubahan kesegaran ikan akan
menyebabkan perubahan nyata pada kecerahan matanya.
4. Keadaan daging : kualitas ikan ditentukan oleh
daging nikan yang masih segar dan berdaging kenyal. Jika ditekan dengan
telunjuk maka bekasnya akan segera kembali.
5. Keadaan insang : ikan yang masih segar berwarna
merah.
Secara fisikawi daging ikan mula-mula akan kehilangan kelenturannya.
Kemudian akan mengerut dan menjadi kaku lalu melemas lagi. Pada fase rigor,
daging akan tampak kering karena kehilangan daya menahan air. Pada fase
terakhir, struktur daging ikan sudah mengalami kerusakan (Hadiwiyoto, 1993)
Menurut Murniyati dan sunarman (2000), ikan yang elah mengalami pembusukan
menampakkan cirri-ciri fisik yang dapat dikenali dari luar. Adapun yang
membedakan antara iakn segar dan ikan busuk adalah pada ikan segar, mata Nampak
bening, cerah, cembung dan menonjol. Sedangkan pada ikan busuk, berwarna pudar,
berkerut, cekung dan tenggelam.
2.4. Faktor yang Mempengaruhi Kemunduran Mutu Ikan
Menurut Adawiyah (2007), ikan segar dapat diperoleh jika penanganan dan
sanitasi yang baik. Semakin lala ikan dibiarkan setelah ditangkap tanpa
penanganan yang baik, maka akan menurunkan kesegaran mutu ikan tersebut.
Factor-faktor intrinsik yaitu mempengaruhi mutu ikan tangkapan antara lain:
lokasi tangkapan, musim, metode penangkapan atau yang lain sebagainya,
penanganan ikan diatas kapal, kondisi kebersihan kapan penangkapan ikan,
pemrosesan dan kondisi penyimpanan (Jica, 2008).
Menurut Munandar et al (2005), beberapa faktor yang mempengaruhi laju perubahan yang dikelompokkan menjadi
dua faktor , yaitu :
a. Faktor intrinsik
Spesies ikan, ukuran besar kecilnya, jenis
kelamin dan tingkat kedewasaan.
b. Factor Ekstrinsik
Jenis alat tangkap, keadaan cuaca, letak
geografi, cara handling.
BAB
3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
3.1. Tempat dan Waktu
Kegiatan
praktikum dilaksanakan pada hari Rabu, 18 Februari 2015 pukul 10.00 WIB sampai
dengan selesai. Praktikum ini dilaksanakan di Laboratrium Teknologi Hasil
Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.
3.2 Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan dalam praktikum pengamatan kemunduran mutu ikan adalah :Baskom, Pisau dan Plastik. Bahan yang
digunakan dala praktikum kemunduran mutu ikan adalah: Ikan nila (Oreochormis niloticus),Ikan patin ( Pangasius pangasius),dan Ikan sardin (Sardinella lemuru).
3.2.3 Cara Kerja
Cara kerja dalam pengamatan kemunduran
mutu ikan adalah sebagai berikut:
1. Ikan diamati kondisi fisiknya mulai dari mata, insang, tekstur
daging dan keadaan kulit dan lender, keadaan perut dan sayatan daging serta
bau.
2. Data yang di peroleh dimasukan ke dalam tabel
hasil.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel hasil dari praktikum pengamatan
kemunduran mutu ikan adalah sebagai berikut :
Kelompok
|
No. Sampel
|
Ikan Segar
|
Ikan Busuk
|
keterangan
|
Nilai
|
1
Ikan Nila
Oreochormis
niloticus
|
1
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 9
|
9
|
2
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 9
|
9
|
|
3
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 9
|
9
|
|
2
Ikan Nila
Oreochormis
niloticus
|
1
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang: 7
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 8
|
8,25
|
2
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
7
Daging dan Perut:
8
Konsistensi: 8
|
8
|
|
3
|
√
|
_
|
Mata: 8 , Insang:
7
Daging dan Perut:
8
Konsistensi: 8
|
7,75
|
|
3
Ikan Sarden
Sardinella
lemuru
|
1
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 9
|
9
|
2
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
8
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 9
|
8,75
|
|
3
|
√
|
_
|
Mata: 7 , Insang: 7
Daging dan
Perut:8
Konsistensi: 8
|
7,5
|
|
4
Ikan Sarden
Sardinella
lemuru
|
1
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
7
Daging dan Perut:
8
Konsistensi: 5
|
7,25
|
2
|
√
|
_
|
Mata: 6 , Insang:
5
Daging dan Perut:
8
Konsistensi: 7
|
6,5
|
|
3
|
√
|
_
|
Mata: 5 , Insang:
4
Daging dan Perut:
6
Konsistensi: 8
|
5,75
|
|
5
Ikan Nila
Oreochormis
niloticus
|
1
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 9
|
9
|
2
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 9
|
9
|
|
3
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 9
|
9
|
|
6
Ikan Nila
Oreochormis
niloticus
|
1
|
√
|
_
|
Mata: 9,8 ,
Insang: 9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi
|
9,26
|
2
|
√
|
_
|
Mata: 9,8 ,
Insang: 9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi
|
9,26
|
|
3
|
√
|
_
|
Mata: 9,8 ,
Insang: 9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi
|
9,26
|
|
7
Ikan Patin
Pangasius
pangasisus
|
1
|
√
|
_
|
Mata: 7,5 ,
Insang: 6,6
Daging dan Perut:
9,8
Konsistensi:
|
7,96
|
2
|
√
|
_
|
Mata: 6 , Insang:
6,8
Daging dan Perut:
9
Konsistensi
|
7,26
|
|
3
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
8,9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi
|
8,96
|
|
8
Ikan Patin
Pangasius
pangasisus
|
1
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
9
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 9
|
9
|
2
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
8
Daging dan Perut:
9
Konsistensi: 8
|
8,5
|
|
3
|
√
|
_
|
Mata: 7 , Insang:
7
Daging dan Perut:
8
Konsistensi: 7
|
7,25
|
|
9
Ikan Patin
Pangasius
pangasisus
|
1
|
√
|
_
|
Mata: 7 , Insang:
7
Daging dan Perut:
5
Konsistensi: 9
|
7
|
2
|
√
|
_
|
Mata: 8 , Insang:
8
Daging dan Perut:
7
Konsistensi: 9
|
8
|
|
3
|
√
|
_
|
Mata: 9 , Insang:
8
Daging dan Perut:
8
Konsistensi: 8
|
8,25
|
4.2 pembahasan
Pada praktikum ini, kita mengamati perbedaan ikan yang masih segar dan ikan
yang sudah busuk. Seperti yang telah kita ketahui bahan ikan yang digunakan
dalam praktikum kali ini yaitu, ikan nila (Oreocromis niloticus), ikan
patin (Pangasius pangasius), dan ikan sarden (Sardinella Lemuru). Kali ini kita melakukan pengamatan pada ikan yang dilakukan oleh masing-masing
kelompok.
Pada percobaan ini kami melakukan pengamatan pada ikan nila. Pada
ikan nila setelah di amati ikan nila yang kami bawa keadaannya masih segar.
Pengamatan yang kami lakukan yaitu mengamati mata, insang, tekstur daging dan
perut, dan konsistensinya.
Keadaan mata ikan nila yang
yang kami amati, dari ketiga ikan nila yang kami bawa, ketiganya ekor ikan
keadaan pupil matanya hitam menonjol, dengan kornea mata cembung dan cemerlang
atau cerah. Keadaan insang ikan nila yang kami amati, ketiga ekor ikan nila
warna insangnya merah tua atau merah cemerlang tanpa adannya lender, tidak
tercium bau yang menyimpang. Keadaan tekstur daging ikan nila yang kami amati,
ketiga ekor ikan nila keadaannya masih elastik dan jika ditekan tidak
meninggalkan bekas jari serta padat atau kompak.
Keadaan perut ikan nila yang kami bawa, ketiganya masih segar parutnya
masih utuh, tidak pecah serta jika ikan di belah maka daging melekat kuat
pada tulang terutama rusuk. Yang terakhir bau ketiga ikan yang masih segar
baunya masih spesifik menurut jenisnya, segar seperti bau rumput laut.
BAB
5
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Kemunduran
mutu ikan ditandai dengan adanya perubahan fisik dan kimia yang disebabkan
oleh aktifitas enzim dan mikroorganisme.
2. Fese kemunduran mutu ikan setelah ikan mati terdiri dari 3 fase
yaitu prerigormortis, rigormortis dan postrigormortis.
3. Penurunan mutu ikan juga dapat
terjadi oleh pengaruh fisik. Misal kerusakan oleh alat tangkap waktu ikan
berada di atas kapal dan selama ikan disimpan di kapal. Kerusakan yang dialami
ikan secara fisik ini disebabkan karena penanganan yang kurang baik. Sehingga
menyebabkan luka-luka pada badan ikan dan ikan menjadi lembek.
4. Ciri ikan yang masih segar atau
busuk dapat di lihat dari mata, insang, tekstur daging, keadaan kulit dan
lender, keadaan perut dan sayatan daging serta bau ikan.
5. Kecepatan pembusukan berbeda pada tiap jenis ikan, karena perbedaan
komposisi kimia ikan. Ikan-ikan yang kecil membusuk lebih cepat dari pada ikan
yang lebih besar.
5.2. Saran
Pelaksanaan praktikum pengamatan kemunduran mutu ikan penggunaan waktu harus
lebih di perbaiki lagi, agar praktikan tidak terburu – buru melakukan
praktikum.
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara kita merupakan
negara perairan yang terdiri dari perairan laut dan perairan darat (tawar) yang
kaya akan sumberdaya ikan yang sangat potensial jikadikelola dan dimanfaatkan
dengan baik. Perikanan air tawar di Indonesia meliputi perikanan di
kolam-kolam, di sawah-sawah, di danau-danau, di rawa-rawa dan didaerah
sungai-sungai. Perikanan yang dibudidayakan di kolam-kolam diusahakankolam yang
terjamin pengairannya dan subur keadaan tanahnya. Air yangdigunakan jangan
sekali-sekali mengandung zat yang dapat mengganggu ikan,misalnya belerang
(sulfur),terlalu banyak kapur, macam macam limbah dari pabrik dan lainlain.
Limbah dari pabrikpabrik tersebut merupakan racun bagiikan dan ini dapat
merusak kelangsungan hidup ikan (Fida, 2007).
Ikan bersifat
perishable food atau mudah mengalami
proses pembusukan atau kemunduran mutu. Ikan cepat mengalami pembusukan
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu karena tubuh ikan mempunyai kadar air yang
tinggi (80%) dan pH mendekati netral sehingga merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme lain, daging ikan mengandung sedikit sekali jaringan
pengikatatau tendon, sehingga mudah dicerna oleh enzim autolysis, daging ikan
banyak mengandung asam lemak tidak jenuh, yang mudah mengalami proses oksidasi (Fida,
2007).
Salah satu kelemahan
ikan sebagai bahan makanan ialah sifatnya yang mudah busuk setelah ditangkap
dan mati. Oleh karena itu, ikan perlu ditangani dengan baik agar tetap dalam
kondisi yang layak dikonsumsi oleh konsumen. Setelah dilakukan penanganan awal
berupa sortasi, grading dan pembersihan, maka penanganan selanjutnya antara
lain pendinginan, pembekuan, penggaraman, pengeringan dan lain sebagainya
(Sugianto, 1998).
Teknik pengawetan yaitu
pendinginan, pembekuan, penggaraman dan pengeringan. Pada proses pengawetan
dengan cara penggaraman sebenarnya terdiri dari dua proses yaitu proses
penggaraman dan proses pengeringan. Ikan yang digarami dan dikeringkan menjadi
awet karena garam dapat menghambat atau membunuh bakteri penyebab kebusukan.
Selain itu dengan dilakukannnya pengeringan kadar air dalam ikan yang menjadi
faktor dasar pertumbuhan bakteri semakin kecil sehingga proses pengawetan dapat
lebh sempurna (Amri, 2008).
Metode pengawetan
dengan cara penggaraman merupakan metode pengawetan yang sederhana dan
ekonomis, hal ini karena media utama yang menjadi bahan dasar dari dalam
pelaksanaan hanya memerlukan garam dan proses pengeringannya yang masih
tradisional hanya dengan bantuan sinar matahari saja. Oleh karena itu dilapisan
masyarakat sebagian besar metode pengawetan yang dilakukan adalah penggaraman
dan pengeringan (Budiman, 2004).
Konsumen dari produk
penggaraman sebagian besar dari kalangan menengah kebawah terutama jenis ikan
asin. Hal ini dikarenakan harga yang relatif lebih murah yang disebabkan faktor
pelaksanaanya yang tidak rumit, biaya produksi yang relatif rendah, dan dapat
dilakukan dalam skala rumah tangga. Dari seluruh faktor-faktor tersebut yang
menyebabkan resapan pasar dari prodak hasil penggaraman relatif cukup besar.
Dengan demikian prospek usaha yang ditimbulkan cukup baik (Budiman, 2004).
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui
pengaruh penambahan berbagai macam konsentrasi garam terhadap mutu ikan asin
yang dihasilkan serta mengetahui metode penggaraman.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Sistematika dan Morfologi Ikan
2.1.1. Sistematika dan Morfologi Ikan Salem
Sistematika ikan salem (Elagatis bipinnulatus) menurut Fauzioyah (2005) adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
Sistematika ikan salem (Elagatis bipinnulatus) menurut Fauzioyah (2005) adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Pecoidae
famili : Caransida
genus : Elagatis
spesies : Elagatis bipinnulatus
Daerah penyebaran dari
ikan ini ada di perairan dan kandang berada di sekitar karang-karang di seluruh
Indonesia melebar sampai teluk benggala, teluk siam, sampai laut Cina Selatan,
Philipina Selatan sampai ke perairan panas Australian. Memiliki bentuk struktur
yang memanjang langsing sampai meradu beradu dengan menggunakan kepalanya yang
berbentuk runcing. Lapisan insang pada busurnya yang pertama pada insang bagian
bawah memiliki sebanyak 25-26 sirip punggung kedua berjari-jari keras
dibelakang siripnya yaitu sirip dubur dan punggung kedua terdapat satu buah jari-jari
sirip buatan tambahan (Fauzioyah, 2005).
Ikan
salem kemudian dapat dipasarkan dalam bentuk segar, asin kering, dan termasuk
dalam harga sedang. Dapat dimanfaatkan menjadi ikan peda. Dengan cara
menggunakan proses fermentasi pada daging ikan. Pada daging ikan yang memiliki
mutu baik dalam memiliki rasa yang khusus, ini jenis yang sangat disukai oleh
banyak kalangan konsumen dan dagingnya berwarna kecoklatan ini terjadi akibat
dari proses oksidasi terhadap lemak yang terdapat di dalam tubuh ikan tersebut (Fauzioyah, 2005).
2.1.2. Sistematika dan Morfologi Ikan Sarden
Menurut Fauzioyah (2005) sistematika dari ikan sarden adalah
sebagai berikut:
kingdom :Animalia
filum :Chordata
kelas :Pisces
ordo :Malacopterygii
famili :Cluipeidae
genus :Sardinella
spesies :Sardinella lemuru
kingdom :Animalia
filum :Chordata
kelas :Pisces
ordo :Malacopterygii
famili :Cluipeidae
genus :Sardinella
spesies :Sardinella lemuru
Ikan
sardin tersebar diseluruh perairan Indonesia melebar sampai ke utara sampai
Oknawa dan ke selatan sampai ujung utara Australia ke barat samapai ke Afrika
Timur. Ikan sardin betina memiliki ciri bentuk badan memanjang perut bulat
dengan sisik duri 12-18 buah. Sirip perut sedikit menonjol dari pertengahan
lebih dekat kearah moncong. Sirip punggung berjari-jari lemah 15-18 sedangkan
sirip belakang 18-20, terdapat sisik tambahan pada sirip perutnya. Lapisan insang
halus berjumlah 36-42 buah. Hidup di perairan pantai lepas dan pemakan plankton
halus. Warna badan ikan sardin bagian atas berwarna biru kehijauan, bagian
bawah berwarna putih perak, totol gelap pada bagian atas badan, siripnya
abu-abu kekuningan, sirip ekor kehitaman sedikit kotor (Fauzioyah, 2005).
2.1.3. Sistematika dan Morfologi Ikan Sepat
Sistematika ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis) menurut Fauzioyah (2005) adalah sebagai
berikut:
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Actinopterygii
ordo : Perciformes
famili : Osphronemidae
genus : Trichogaster
spesies :Trichogaster pectoralis
Ikan sepat siam yang mempunyai nama
ilmiah Trichogaster pectoralis. Ragam dari anabantidae ini mempunyai badan
memanjang. Bentuk tubuh pipih ke samping ,tinggi badan 2,2-3 kali panjang
setandar. Mulut kecil dan dapat di sembulkan. Jari-jari sirip perut yang
pertama mengalami modifikasi/perubahan menjadi filamen yang panjang hinga
mencapai ekor (Fauzioyah, 2005).
Warna badan bagian pungug hijau
kegelapan sedangkan pada bagian sebelah samping sisik berwarna lebih terang.
Pada bagian kepala dan badan terdapat garis-garis yang melintang dan dari mata
sampai ekor terdapat garis memanjang yang terputus. Pada sirip dubur terdapat
2-3 garis hitam yang membujur. Ikan ini dapat mencapai panjag mencapai 25cm (Fauzioyah, 2005).
2.1.4. Sistematika dan Morfologi Ikan Tongkol
Menurut Fauzioyah (2005), klasifikasi Ikan Tongkol adalah sebagai
berikut:
kingdom :Animalia
filum :Chordata
kelas :Pisces
ordo :Percomorphi
famili :Scombridae
genus :Euthynnus
spesies :Euthynnus affinis
kingdom :Animalia
filum :Chordata
kelas :Pisces
ordo :Percomorphi
famili :Scombridae
genus :Euthynnus
spesies :Euthynnus affinis
Bentuk tubuh ikan tongkol seperti betuto, dengan kulit yang licin . Sirip
dada melengkung, ujungnya lurus dan pangkalnya sangat kecil. Ikan tongkol
merupakan perenang yang tercepat diantara ikan-ikan laut yang berangka tulang.
Sirip-sirip punggung, dubur, perut, dan dada pada pangkalnya mempunyai lekukan
pada tubuh, sehingga sirip-sirip ini dapat dilipat masuk kedalam lekukan
tersebut, sehingga dapat memperkecil daya gesekan dari air pada waktu ikan
tersebut berenang cepat. Dan dibelakang sirip punggung dan sirip dubur terdapat
sirip-sirip tambahan yang kecil-kecil yang disebut finlet (Fauzioyah, 2005).
Ikan tongkol dapat mencapai ukuran panjang 60– 65 cm dengan berat 1.720
gr pada umur 5 tahun. Panjang pertama kali matang gonad ialah 29– 30 cm.
Ikan tongkol memiliki 10– 12 jari-jari sirip punggung, 10– 13 jari-jari halus sirip punggung, 10 – 14 jari-jari halus sirip dubur, dengan warna punggung kebiru-biruan, ungu tua bahkan berwarna hitam pada bagian kepala. Sebuah pola 15 garis-garis halus, miring hampir horisontal, garis bergelombang gelap di daerah scaleless diatas gurat sisi (linea lateralis). Bagian bawah agak putih (cerah). Dada dan sirip perut ungu, sisi bagian dalam mereka hitam. Badan kuat, memanjang dan bulat. Gigi kecil dan berbentuk kerucut, dalam rangkaian tunggal. Sirip dada pendek, tapi mencapai garis vertikal melewati batas anterior dari daerah scaleless atas corselet. Sebuah flap tunggal besar (proses interpelvic) antara sirip perut. Tubuh telanjang kecuali untuk corselet, yang dikembangkan dengan baik dan sempit di bagian posterior (tidak lebih dari 5 skala yang luas di bawah asal-sirip punggung kedua). Sebuah keel pusat yang kuat pada setiap sisi dasar sirip ekor-kecil antara 2 keel (Fauzioyah, 2005).
Ikan tongkol memiliki 10– 12 jari-jari sirip punggung, 10– 13 jari-jari halus sirip punggung, 10 – 14 jari-jari halus sirip dubur, dengan warna punggung kebiru-biruan, ungu tua bahkan berwarna hitam pada bagian kepala. Sebuah pola 15 garis-garis halus, miring hampir horisontal, garis bergelombang gelap di daerah scaleless diatas gurat sisi (linea lateralis). Bagian bawah agak putih (cerah). Dada dan sirip perut ungu, sisi bagian dalam mereka hitam. Badan kuat, memanjang dan bulat. Gigi kecil dan berbentuk kerucut, dalam rangkaian tunggal. Sirip dada pendek, tapi mencapai garis vertikal melewati batas anterior dari daerah scaleless atas corselet. Sebuah flap tunggal besar (proses interpelvic) antara sirip perut. Tubuh telanjang kecuali untuk corselet, yang dikembangkan dengan baik dan sempit di bagian posterior (tidak lebih dari 5 skala yang luas di bawah asal-sirip punggung kedua). Sebuah keel pusat yang kuat pada setiap sisi dasar sirip ekor-kecil antara 2 keel (Fauzioyah, 2005).
2.2. Fungsi Penggaraman
Penggaraman
merupakan pengolahan dengan menggunakan garam konsentrasi tinggi. Penggunaan garam dilakukan untuk
mengawetkan dan menyamarkan kerusakan yang dapat terjadi pada bahan pangan.
Secara umum proses penggaraman terdiri atas dua tahap yaitu penggaraman dan
pengeringan (Budiman, 2004).
Tujuan
penggaraman adalah untuk pengawetan selain itu untuk mendapatkan perubahan
bahan yang diinginkan seperti tekstur, warna, dan mendapatkan karakteristik
tertentu dari produk dengan aroma dan rasa yang khas.
Fungsi dari penggaraman adalah menghambat atau membunuh bakteri pembusuk pada bahan dan membentuk struktur tertentu. Pada proses fermentasi garam berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak tahan terhadap garam namun menumbuhkan bakteri yang halotoleran terhadap garam. Garam juga memiliki kemampuan dalam mengikat air dalam jaringan sayuran sehingga terjadi perubahan tekstur dari produk yang dibuat pickle. Pada proses pengolahan dengan enzimatis fungsi garam adalah menyeleksi jenis enzim yang aktif. Enzim yang tidak tahan terhadap garam akan inaktif sehingga enzim yang aktif akan beraktivitas mendegradasi protein ikan dan membentuk flavor dan aroma yang khas (Budiman, 2004).
Fungsi dari penggaraman adalah menghambat atau membunuh bakteri pembusuk pada bahan dan membentuk struktur tertentu. Pada proses fermentasi garam berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak tahan terhadap garam namun menumbuhkan bakteri yang halotoleran terhadap garam. Garam juga memiliki kemampuan dalam mengikat air dalam jaringan sayuran sehingga terjadi perubahan tekstur dari produk yang dibuat pickle. Pada proses pengolahan dengan enzimatis fungsi garam adalah menyeleksi jenis enzim yang aktif. Enzim yang tidak tahan terhadap garam akan inaktif sehingga enzim yang aktif akan beraktivitas mendegradasi protein ikan dan membentuk flavor dan aroma yang khas (Budiman, 2004).
Penggaraman
merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mendapatkan perubahan bahan yang
lebih baik. Dengan tingkat konsentrasi garam tertentu akan dihasilkan berbagai
produk akhir yang memiliki karakteristik yang berbeda dari bentuk awalnya.
Dalam proses penggaraman dikombinasikan dengan proses pengeringan untuk
mendapatkan produk yang sempurna baik dari segi tekstur, rasa dan aroma yang
khas. Untuk mendapatkan hasil yang baik konsentrasi garam harus disesuaikan
dengan tujuan dari produk yang diinginkan baik untuk produk fermentasi maupun
enzimatis. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ini adalah jenis dan
karakteristik bahan, konsentrasi garam, waktu penggaraman, dan suhu pengeringan
(Budiman,
2004).
2.3. Metode Penggaraman
Menurut Muhammad Syarif
Budiman (2004) pada dasarnya, metode penggaraman ikan dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam yaitu penggaraman kering (dry salting), penggraman basah
(wet salting) dan kench salting. Namun selain itu terkadang dilakukan metode
penggaraman campuran.
a. Penggaraman Kering (dry salting)
Metode penggaraman
kering menggunakan kristal garam yang dicampurkan dengan ikan. Pada umumnya,
ikan yang berukuran besar dibuang isi perut dan badannya dibelah dua. Dalam
proses penggaraman ikan ditempatkan didalam wadah yang kedap air. Ikan disusun
rapi dalam wadah selapis demi selapis dengan setiap lapisan ikan ditaburi
garam. Lapisan paling atas dan paling bawah wadah merupakan lapisan garam.
Garam yang digunakan pada proses penggaraman umumnya berjumlah 10% - 35% dari
berat ikan yang digarami (Fida, 2007).
Pada waktu ikan
bersentuhan dengan kulit atau daging ikan (yang basah/berair), garam itu
mula-mula akan membentuk larutan pekat. Larutan ini kemudian akan meresap
kedalam daging ikan melalui proses osmosa. Jadi, kristal garam tidak langsung
menyerap air, tetapi terlebih dahulu berubah jadi larutan. Semakin lama larutan
akan semakin banyak dan ini berarti kandungan air dalam tubuh ikan semakin
berkurang (Fida, 2007).
b.
Penggaraman Basah (wet salting)
Penggaraman basah
menggunakan larutan garam 30-35 % (dalam 1 liter air terdapat 30–35 gram
garam). Ikan yang akan digarami dimasukkan kedalam larutan garam tersebut,
kemudian bagian atas wadah ditutup dan diberi pemberat agar semua ikan
terendam. Lama waktu perendaman tergantung pada ukuran ketebalan tubuh ikan dan
derajat keasinan yang diinginkan (Fida, 2007).
Dalam proses osmosa,
kepekatan larutan garam akan semakin berkurang karena adanya kandungan air yang
keluar dari tubuh ikan, sementara itu molekul garam masuk kedalam tubuh ikan.
Proses osmosa akan berhenti apabila kepekatan larutan diluar dan didalam tubuh
ikan sudah seimbang (Fida, 2007).
c. Kench Salting
Pada dasarnya, teknik
penggaraman ini sama dengan pengaraman kering (dry salting) tetapi tidak
mengunakan bak atau wadah penyimpanan. Ikan dicampur dengan garam dan dibiarkan
diatas lantai atau geladak kapal, larutan air yang terbentuk dibiarkan mengalir
dan terbuang. Kelemahan dari cara ini adalah memerlukan jumlah garam yang lebih
banyak dan proses penggaraman berlangsung sangat lambat (Fida, 2007).
d. Campuran
Merupakan metode
penggaraman yang dilakukan dengan cara penggabungkan penggaraman kering (dry
salting) dan Penggaraman Basah (wet salting). Pelaksanaanya dengan cara
melakukan penggaraman kering dahulu kemudian baru disusul oleh penggaraman
basah. Secara teknis cara ini sangat efektif dalam proses inokulasi garam.
Namun dari segi ekonomis merugikan karena kebutuhan garam yang dibutuhkan
secara otomatis akan bertambah karena jumlah garam yang digunakan lebih banyak (Fida,
2007).
2.4. Pengeringan
Pengeringan merupakan
metode pengawetan produk yang pertama dilakukan oleh manusia. Selama proses
pengeringan, ikan akan mengalami pengurangan kadar air yang mengakibatkan
proses metabolisme bakteri pembusuk dalam tubuh ikan menjadi terganggu.
Sehingga proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat atau dihentikan. Tahapan
proses pengeringan terdiri dari : pengangkatan ikan dari wadah penggaraman,
pencucian, pengeringan, peyortiran dan pengemasan (Budiman, 2004).
Peralatan yang
diperlukan selama proses pengeringan terdiri dari wadah pencucian, para-para
(untuk pengeringan alami), ruang pengeringan (untuk pengeringan mekanis), kardus
pengepakan. Ada dua metode pengeringan yang bias dilakukan yaitu : Pengeringan
alami dan pengeringan mekanis. Keuntungan pengeringan alami antara lain adalah
tidak memerlukan peralatan dan keterampilan khusus tetapi memiliki kelemahan
yaitu membutuhkan tempat yang luas serta waktu pengeringan (suhu) sulit
dikendalikan. Keuntungan pengeringan mekanis antara lain : waktu pengeringan
(suhu) dapat dikendalikan dan tidak memerlukan tempat yang luas. Kelemahan
pengeringan mekanis antara lain membutuhkan sarana dan keterampilan khusus (Budiman,
2004).
Menurut Muhammad Syarif
Budiman (2004) cara pengeringan bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu
pengeringan alami dan pengeringan mekanis (buatan).
a. Pengeringan alami.
Pengeringan alami
adalah proses pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan media angin dan
sinar matahari. Dalam pengeringan alam, ikan dijemur diatas rak-rak yang
dipasang miring (+15o) kearah datangnya angin dan diletakkan ditempat terbuka
supaya terkena sinar matahari dan hembusan angin secara langsung. Keunggulan
pengeringan alami adalah proses sangat sederhana, murah dan tidak memerlukan
peralatan khusus sehingga gampang dilakukan oleh semua orang (Budiman, 2004).
Pada proses pengeringan
ini, angin berfungsi untuk memindahkan uap air yang terlepas dari ikan, dari
atas ikan ke tempat lain sehingga penguapan berlangsung lebih cepat. Tanpa
adanya pergerakan udara, misalnya jika penjemuran ditempat tertutup (tanpa
adanya hembusan angin), pengeringan akan berjalan lambat. Selain tiupan angin,
pengeringan alami juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari pada saat
penjemuran berlangsung. Makin tinggi intensitasnya maka proses pengeringan akan
semakin cepat berlangsung begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, proses
pengeringan alami sering terhambat pada saat musim penghujan karena intensitas
cahaya matahari sangat kurang. Karena lambatnya pengeringan, proses pembusukan
kemungkinan tetap berlangsung selama proses pengeringan (Budiman, 2004).
Masalah lain yang
dihadapi pada pengeringan alami adalah ikan yang dijemur ditempat terbuka
gampang dihinggapi serangga atau lalat. Lalat yang hinggap akan meninggalkan
telur, dalam waktu 24 jam telur tersbut akan menetas dan menjadi ulat yang
hidup didalam daging ikan (Budiman, 2004).
b. Pengeringan Mekanis
Karena banyaknya
kesulitan yang didapat pada proses pengeringan alami terutama pada saat musim
penghujan, maka manusia mencoba membuat alat baru untuk menghasilkan produk
yang lebih baik dengan cara yang lebih efisien. Pada pengeringan mekanis, ikan
disusun diatas rak-rak penyimpanan didalam ruangan tertutup yang dilengkapi
dengan beberapa lubang ventilasi. Kedalam ruangan tersebut, ditiupkan hawa
panas yang dihasilkan dari elemen pemanas listrik. Hawa panas ditiupkan dengan
sebuah kipas angin atau blower supaya mengalir ke arah rak-rak ikan. angin yang
membawa uap air dari tubuh ikan akan keluar dari lubang-lubang ventilasi
(Budiman, 2004).
Pengeringan mekanis
memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut :
1). Ketinggian suhu, kelembaban dan
kecepatan udara mudah diatur
2). Sanitasi dan higiene lebih mudah
dikendalikan
3). Tidak memerlukan tempat yang luas
4).
Waktu pengeringan menjadi lebih teratur.
BAB
3
PELAKSANAAN
PRAKTIKUM
3.1. Tempat dan Waktu
Kegiatan praktikum
ini dilaksanakan di Laboratrium Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sriwijaya. Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu, 04 Februari
2015 pukul 10.00 WIB sampai dengan selesai.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang
digunakan dalam praktikum pengamatan kemunduran mutu ikan adalah : Baskom, Pisau, Plastik, dan
Timbangan Analitik. Bahan yang digunakan pada praktikum Penggaraman dan
Pengeringan adalah: ikan salem (Elagatis bipinnulatus), ikan sarden
(Sardinella lemuru), ikan sepat (Tricogaster pectoralis), ikan tongkol (Euthynnus affinis), air, garam halus, dan garam kasar.
3.3. Cara Kerja
|
3.3.1. Penggaraman Kering
|
|
||||||||
|
||||||
|
||||||
3.3.2. Penggaraman Basah
|
|||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
BAB 4
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel
4.1. Hasil pada praktikum kali ini
yaitu:
Kelompok
dan Nama Ikan
|
Nomor Sampel
|
Berat Awal (g)
|
Berat Akhir (g)
|
Persentase (%)
|
|||
|
|
|
|||||
1
Ikan tongkol (Euthynnus affinis)
|
1
|
198
|
93
|
46.97
|
|||
2
|
188
|
92
|
48.94
|
||||
2
Ikan salem (Elagatis bipinnulatus)
|
1
|
122
|
69
|
56.56
|
|||
2
|
128
|
66
|
51.56
|
||||
3
Ikan salem (Elagatis bipinnulatus)
|
1
|
105
|
60
|
57.14
|
|||
2
|
63
|
35
|
55.55
|
||||
4
Ikan sarden (Sardinella lemuru)
|
1
|
38
|
17
|
44.74
|
|||
2
|
43
|
17
|
39.53
|
||||
5
Ikan sarden (Sardinella lemuru)
|
1
|
47
|
12
|
25.53
|
|||
2
|
110
|
35
|
31.82
|
||||
6
Ikan sepat (TricogasterpEctoralis)
|
1
|
31
|
11
|
35.48
|
|||
2
|
30
|
10
|
33.33
|
||||
7
Ikan
sepat (Trichogaster pectoralis)
|
1
|
30
|
12
|
40
|
|||
2
|
29
|
9
|
31.03
|
||||
8
Ikan tongkol (Euthynnus affinis)
|
1
|
269
|
-
|
-
|
|||
2
|
240
|
182
|
75.83
|
||||
9
Ikan salem (Scomber japonicas)
|
1
|
170
|
81
|
54
|
|||
2
|
150
|
77
|
51.33
|
||||
Tabel 4.2. Ikan
dengan konsentrasi 5%
Nilai
|
Kriteria
|
Penampakan
|
Aroma
|
Tekstur
|
Rasa
|
1
|
Amat sangat tidak suka
|
|
|
|
|
2
|
Sangat tidak suka
|
|
|
|
|
3
|
Tidak suka
|
|
|
|
|
4
|
Agak tidak suka
|
ü
|
ü
|
|
ü
|
5
|
Netral
|
|
|
|
|
6
|
Agak suka
|
|
|
|
|
7
|
Suka
|
|
|
ü
|
|
8
|
Sangat suka
|
|
|
|
|
9
|
Amat sangat suka
|
|
|
|
|
Tabel 4.3. Ikan dengan konsentrasi 10%
Nilai
|
Kriteria
|
Penampakan
|
Aroma
|
Tekstur
|
Rasa
|
1
|
Amat sangat tidak suka
|
|
|
|
|
2
|
Sangat tidak suka
|
|
|
|
|
3
|
Tidak suka
|
ü
|
|
|
|
4
|
Agak tidak suka
|
|
ü
|
ü
|
|
5
|
Netral
|
|
|
|
|
6
|
Agak suka
|
|
|
|
|
7
|
Suka
|
|
|
|
ü
|
8
|
Sangat suka
|
|
|
|
|
9
|
Amat sangat suka
|
|
|
|
|
4.2. Pembahasan
Pada
praktikum kali ini adalah penggaraman dan pengeringan. Penggunaan garam
dilakukan untuk mengawetkan dan menyamarkan kerusakan yang dapat terjadi pada
bahan pangan. Tujuan penggaraman adalah untuk pengawetan selain itu untuk
mendapatkan perubahan bahan yang diinginkan seperti tekstur, warna, dan
mendapatkan karakteristik tertentu dari produk dengan aroma dan rasa yang khas. Fungsi dari penggaraman adalah
menghambat atau membunuh bakteri pembusuk pada bahan dan membentuk struktur
tertentu. proses penggaraman terdiri atas dua tahap yaitu penggaraman dan
pengeringan. Terbukti dari hasil tekstur dari ikan berubah, warna juga berubah
menjadi agak kecoklatan, dan aromanya juga khas. Dan dengan begitu ikan lebih
tahan lama.
Menurut Muhammad Syarif
Budiman (2004) pada dasarnya, metode penggaraman ikan dapat dikelompokkan menjadi
tiga macam yaitu penggaraman kering (dry salting), penggraman basah (wet
salting) dan kench salting. Namun selain itu terkadang dilakukan metode
penggaraman campuran. Pengeringan merupakan metode pengawetan produk yang
pertama dilakukan oleh manusia. Selama proses pengeringan, ikan akan mengalami
pengurangan kadar air yang mengakibatkan proses metabolisme bakteri pembusuk
dalam tubuh ikan menjadi terganggu. Sehingga proses kemunduran mutu ikan dapat
dihambat atau dihentikan. Tahapan proses pengeringan terdiri dari :
pengangkatan ikan dari wadah penggaraman, pencucian, pengeringan, peyortiran
dan pengemasan.
BAB
5
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Pada proses penggaraman terdapat empat metode yaitu dry
salting, wet salting, kench salting dan campuran atau kombinasi.
2. Penggaraman secara dry salting sangat efektif dalam penyerapan
air dari dalam tubuh ikan.
3. Garam memiliki sifat hidroskopis yang merupakan sifat dasar
yang sangat penting dan dibutuhkan dalam proses penggaraman.
4. Pada hasil penggaraman yang perlakuan yang kurang baik akan
menyebabkan timbulnya belatung atau larva.
5. Konsentrasi garam yang digunakan sangat mempengaruhi hasil dan
kwalitas yang diperoleh.
5.2. Saran
Sebaiknya para asisten bisa mengkondufsikan
lingkungan agar jalannya praktikum bisa lancar.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ikan tergolong bahan
makanan yang mudah sekali busuk oleh sebab itu agar sampai di tangan konsumen
masih dalam keadaan baik, diperlukan cara-cara penanganan yang baik,dari sekian
banyak upaya manusia untuk mempertahankan mutu ikan yang umum dilakukan adalah
pengolahan secara tradisional dari pengawetan hasil ikan yang ditangkap
diantaranya teknologi pengawetan ikan dengan cara pemindangan (Fida, 2007).
Ikan
pindang merupakan salahsatu hasil olahan yang cukup populer di Indonesia, dalam
urutan hasil olahan tradisional menduduki tempat kedua setelah ikan asin.
Dilihat dari sudut program peningkatan konsumsi protein masyarakat, ikan
pindang mempunyai prospek yang lebih baik dari pada ikan asin. Hal ini
mengingat bahwa ikan pindang mempunyai cita-rasa yang lebih lezat dan tidak
begitu asin jika dibandingkan dengan ikan asins ehingga dapat dimakan dalam
jumlah yang lebih banyak. Kelebihan ikan pindang dan ikan asin ialah
ikanpindang merupakan produk yang siapuntuk dimakan (ready to eat ).
Disamping itujuga praktis semua jenisikan dari berbagaiukuran dapat diolah
menjadi ikan pindang. (Astawan, 2007).
Dibanding pengolahan
ikan asin, pemindangan mempunyai beberapa keuntungan, yaitu cara pengolahannya
sederhana dan tidak memerlukan alat yang mahal, hasilnya berupa produk matang
yang dapat langsung dimakan tanpa perlu dimasak terlebih dahulu,rasanya cocok
dengan selera masyarakat Indonesia pada umumnya, dapat dimakan dalam jumlah
yang relative banyak, sehingga sumbang anproteinnya cukup besar bagi perbaikan gizi
masyarakat (Astawan, 2007).
Berbeda dengan
pembuatan ikanasin walaupun pindang di olah dengan mempergunakan garam namun
yang diperoleh hasil yang berbeda karena pada pengolahan pindang selain
penggaraman juga dikombinasikan dengan proses pemanasan sehingga produk yang
dihasilkan mempunyaikarakteristik tersendiri.Dari segi taknologi pengawetan
produk pindang dapat diklasifikasikan sebagai produk setengah awet (semi
preserved), dibandingkan dengan ikan segar pindang masih mungkin sampai
mencapai pelosok desa, meningat masih kurang tersedianya fasilitas
pendinginikan. Dengan demikian upaya untuk memasyarakatkan makan ikan
memperoleh jangkauan yang lebih luas (Astawan, 2007).
1.2.
Tujuan
Untuk
menelaah pengaruh penggunaan berbagai konsentrasi garam terhadap mutu
organoleptik (penampakan, bau, konsistensi, dan rasa) ikan yang dihasilkan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sistematika dan Marfologi Ikan
2.1.1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Menurut Fauzioyah (2005),
sistematika ikan nila (Oreochormis
niloticus) adalah sebagai berikut :
kingdom :
Animalia
filum :
Chordata
kelas :
Pisces
ordo :
percoidae
famili :
chicilidae
genus :
Oreochromis
spesies :
Oreochromis niloticus
Ikan nila adalah
sejenis ikan konsumsi air tawar. Ikan ini
diintroduksi dari Afrika pada tahun 1969, dan kini menjadi
ikan peliharaan yang populer di kolam-kolam air tawar dan di beberapa waduk di Indonesia. Nama
ilmiahnya adalah Oreochromisniloticus
dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Nile Tilapia. GenusOreochromis merupakan genusikan yang beradaptasi tinggi dan
mempunyai toleransi terhadap kualitas air dengan kisaran yang lebar. Genus ini dapat hidup dalam kondisi
lingkungan yang ekstrim sekalipun karena sering kali ditemukan hidup normal
pada habitat-habitat yang ikan
air tawar dari jenis lain tidak dapat hidup.
Ciri ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah garis
vertikal yang berwarna gelap di sirip
ekor sebanyak
enam buah, di sirip punggung (dorsal), sirip
dubur (anal), berpunggung tinggi dan rendah (Fauzioyah, 2005).
Ikan
nila yang masih
kecil belum tampak perbedaan alat kelaminnya. Setelah berat badannya mencapai
50 gram, dapat
diketahui perbedaaan antara jantan dan betina. Untuk membedakan antara ikanjantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati
seksama lubang
genitalnya (kelaminsekunder). Pada ikan
jantan, warna tubuhnya lebih gelap, tulang
rahang melebar ke
belakang yang memberi kesan kokoh, terdapat lubang
anus dan satu lubang
genital yang berupa tonjolan agak kecil
meruncing sebagai saluran pengeluaran air
kencing dan sperma. Rasio jumlah ikan
jantan dan betina ideal adalah 3:1, yaitu jumlah ikan
betina lebih
banyak daripada ikan jantan. Padat penebaran disesuaikan dengan wadah atau kolam
budidayanya. Bila ikan
nila dipelihara
dalam kepadatan populasi yang tinggi, pertumbuhannya kurang pesat. Kualitas air yang kurang baik akan mengakibatkan
pertumbuhan ikan menjadi
lambat (Fauzioyah, 2005).
2.1.2. Ikan Kembung ( Rastrelliger
kanagurta )
Menurut Fauzioyah (2005),
sistematika Ikan Kembung ( Rastrelliger
kanagurta ) adalah sebagai berikut :
kingdom
: Animalia
filum
: Chordata
kelas
: Actinopterygii
ordo :
Perciformes
famili :
Scombridae
genus :
Rastrelliger
spesies :
Rastrelliger kanagurta
Ikan
kembung atau sering kali disebut Indian mackerel, merupakan salah satu
komoditas penting perikanan tangkap. Ikan kembung memiliki panjang maksimal 35
cm TL. Termasuk ikan pelagis di zona neritik, oseanodrom. Swimming layer
berkisar antara 20 – 90 m. Larva kembung memakan fitoplakton seperti jenis
diatom laut dan jenis zooplankton kecil seperti ladoceran, ostracods, larva
polychaetes, dan lain-lain. Tubuh streamline. Panjang usus biasanya 1,4sampai
1,8 kali panjang FL. Warna tubuh terdapat garis hitam memanjang di bagian
punggung dan bintik hitam di tubuh dekat sirip pectoral. Sirip dorsal berwarna
kuning dengan ujung hitam. Sirip caudal dan pectoral berwarna kekuning-kuningan
(Fauzioyah,
2005).
2.1.3. Ikan Sarden (Sardinella lemuru)
Menurut Fauzioyah(2005) sistematika
dari ikan sarden (Sardinella lemuru)
adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Malacopterygii
family : Cluipeidae
genus : Sardinella
spesies : Sardinella lemuru
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Malacopterygii
family : Cluipeidae
genus : Sardinella
spesies : Sardinella lemuru
Ikan sardin tersebar
diseluruh perairan Indonesia melebar sampai ke utara sampai Oknawa dan ke
selatan sampai ujung utara Australia ke barat samapai ke Afrika Timur. Ikan
sardin betina memiliki ciri bentuk badan memanjang perut bulat dengan sisik
duri 12-18 buah. Sirip perut sedikit menonjol dari pertengahan lebih dekat
kearah moncong. Sirip punggung berjari-jari lemah 15-18 sedangkan sirip
belakang 18-20, terdapat sisik tambahan pada sirip perutnya. Lapisan insang
halus berjumlah 36-42 buah. Hidup di perairan pantai lepas dan pemakan plankton
halus. Warna badan ikan sardin bagian atas berwarna biru kehijauan, bagian
bawah berwarna putih perak, totol gelap pada bagian atas badan, siripnya
abu-abu kekuningan, sirip ekor kehitaman sedikit kotor (Fauzioyah,2005).
2.1.4. Sistematika dan Morfologi Ikan Tongkol
Menurut
Fauzioyah
(2005), klasifikasi Ikan Tongkol adalah sebagai berikut:
kingdom :Animalia
filum :Chordata
kelas :Pisces
ordo :Percomorphi
famili :Scombridae
genus :Euthynnus
spesies :Euthynnus affinis
kingdom :Animalia
filum :Chordata
kelas :Pisces
ordo :Percomorphi
famili :Scombridae
genus :Euthynnus
spesies :Euthynnus affinis
Bentuk
tubuh ikan tongkol seperti betuto, dengan kulit yang licin . Sirip dada
melengkung, ujungnya lurus dan pangkalnya sangat kecil. Ikan tongkol merupakan
perenang yang tercepat diantara ikan-ikan laut yang berangka tulang.
Sirip-sirip punggung, dubur, perut, dan dada pada pangkalnya mempunyai lekukan
pada tubuh, sehingga sirip-sirip ini dapat dilipat masuk kedalam lekukan tersebut,
sehingga dapat memperkecil daya gesekan dari air pada waktu ikan tersebut
berenang cepat. Dan dibelakang sirip punggung dan sirip dubur terdapat
sirip-sirip tambahan yang kecil-kecil yang disebut finlet(Fauzioyah,
2005).
Ikan
tongkol dapat mencapai ukuran panjang 60– 65 cm dengan berat 1.720 gr pada umur
5 tahun. Panjang pertama kali matang gonad ialah 29– 30 cm.
Ikan tongkol memiliki 10– 12 jari-jari sirip punggung, 10– 13 jari-jari halus sirip punggung, 10– 14 jari-jari halus sirip dubur, dengan warna punggung kebiru-biruan, ungu tua bahkan berwarna hitam pada bagian kepala. Sebuah pola 15 garis-garis halus, miring hampir horisontal, garis bergelombang gelap di daerah scaleless diatas gurat sisi (linea lateralis). Bagian bawah agak putih (cerah). Dada dan sirip perut ungu, sisi bagian dalam mereka hitam. Badan kuat, memanjang dan bulat. Gigi kecil dan berbentuk kerucut, dalam rangkaian tunggal. Sirip dada pendek, tapi mencapai garis vertikal melewati batas anterior dari daerah scaleless atas corselet. Sebuah flap tunggal besar (proses interpelvic) antara sirip perut. Tubuh telanjang kecuali untuk corselet, yang dikembangkan dengan baik dan sempit di bagian posterior (tidak lebih dari 5 skala yang luas di bawah asal-sirip punggung kedua). Sebuah keel pusat yang kuat pada setiap sisi dasar sirip ekor-kecil antara 2 keel(Fauzioyah, 2005).
Ikan tongkol memiliki 10– 12 jari-jari sirip punggung, 10– 13 jari-jari halus sirip punggung, 10– 14 jari-jari halus sirip dubur, dengan warna punggung kebiru-biruan, ungu tua bahkan berwarna hitam pada bagian kepala. Sebuah pola 15 garis-garis halus, miring hampir horisontal, garis bergelombang gelap di daerah scaleless diatas gurat sisi (linea lateralis). Bagian bawah agak putih (cerah). Dada dan sirip perut ungu, sisi bagian dalam mereka hitam. Badan kuat, memanjang dan bulat. Gigi kecil dan berbentuk kerucut, dalam rangkaian tunggal. Sirip dada pendek, tapi mencapai garis vertikal melewati batas anterior dari daerah scaleless atas corselet. Sebuah flap tunggal besar (proses interpelvic) antara sirip perut. Tubuh telanjang kecuali untuk corselet, yang dikembangkan dengan baik dan sempit di bagian posterior (tidak lebih dari 5 skala yang luas di bawah asal-sirip punggung kedua). Sebuah keel pusat yang kuat pada setiap sisi dasar sirip ekor-kecil antara 2 keel(Fauzioyah, 2005).
2.1.5. Sistematika dan Morfologi Ikan Salem
Sistematika
ikan salem (Elagatis bipinnulatus)
menurut Fauzioyah
(2005)
adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Pecoidae
famili : Caransida
genus : Elagatis
spesies : Elagatis bipinnulatus
Daerah penyebaran dari
ikan ini ada di perairan dan kandang berada di sekitar karang-karang di seluruh
Indonesia melebar sampai teluk benggala, teluk siam, sampai laut Cina Selatan,
Philipina Selatan sampai ke perairan panas Australian. Memiliki bentuk struktur
yang memanjang langsing sampai meradu beradu dengan menggunakan kepalanya yang
berbentuk runcing. Lapisan insang pada busurnya yang pertama pada insang bagian
bawah memiliki sebanyak 25-26 sirip punggung kedua berjari-jari keras
dibelakang siripnya yaitu sirip dubur dan punggung kedua terdapat satu buah
jari-jari sirip buatan tambahan (Fauzioyah, 2005).
Ikan salem kemudian
dapat dipasarkan dalam bentuk segar, asin kering, dan termasuk dalam harga
sedang. Dapat dimanfaatkan menjadi ikan peda. Dengan cara menggunakan proses
fermentasi pada daging ikan. Pada daging ikan yang memiliki mutu baik dalam
memiliki rasa yang khusus, ini jenis yang sangat disukai oleh banyak kalangan
konsumen dan dagingnya berwarna kecoklatan ini terjadi akibat dari proses
oksidasi terhadap lemak yang terdapat di dalam tubuh ikan tersebut (Fauzioyah,
2005).
2.2.
Metode Pemindangan
Pada
dasarnya pemindangan ikan merupakan upaya pengawetan sekaligus pengolahan ikan
yang menggunakan teknik penggaraman dan pengasapan. Pengolahan tersebut
dilakukan dengan merebus atau dengan memanaskan ikan dalam susana bergaram
dalam waktu tertentu didalam suatu wadah. Wadah ini digunakan sebagai tempat
ikan selama perebusan atau pemanasan dan sekaligus digunakan sebagai kemasan
selama transportasi dan pemasaran (Adawyah,
2007).
Garam yang digunakan
berperan sebagai pengawet sekaligus memperbaiki cita rasa ikan, sedangkan
pemanasan mematikan sebagian besar bakteri pada ikan, terutama pada bakteri
pembusuk dan pathogen. Selain itu pemanasan dengan kadar garam tinggi
menyebabkan tekstur daging ikan berubah menjadi lebih kompak..Ikan pindang pun
menjadi lezat dan lebih awet ketimbang masih segar (Adawyah, 2007).
2.2.1.
Pemindangan garam
Pada
teknikini, lapisan ikan yang digarami dengan garam kering, disusun
berlapis-lapis di dalam wadah yang terbuat dari plat logam, pendil atau paso
tanah (belanja tanah) atau lainnya. Kemudian direbus dalam jangka waktu yang
cukup lama (sekitar 4 – 6 jam), cairan perebus kemudian dibuang melalui lubang
kecil bagian bawah wadah atau ditiriskan. Pada lapisan atas ditutup dengan
selembar kertas dan di atas permukaan kertas ini disebarkan merata selapis
garam (Budiman, 2004).
2.2.2.
Pemindangan air garam (brineboiling)
Teknik ini ikan
ditaburi garam disusun diatas keranjang atau rak bambu disebut “naya”. Beberapa
naya diisi ikan dan disusun vertical pada suatu kerangka lalu dicelupkan kedalam
air garam mendidih didalam wadah yang terbuka dan lama pembuatan relatif jauh
lebih singkat dari pada teknik pemindangan garam. Setelah proses perebusan
selesai, wadah di mana ikan tersusun diangkat, kemudian direndam atau disiram
dan didinginkan untuk siap didistribusikan dan dipisahkan (Budiman, 2004).
2.3. Jenis-jenis Pemindangan
2.3.1. Pindang Bawean
Alat dan bahan yang harus
disediakan adalah pendil atau paso, daun pisang kering dan garam sebanyak
20–30% dari berat ikan. Gunakan garam yang kemurniannya tinggi kemudian ikan
dicuci bersih setelah dibuang isi perut dan insangnya lalu ditaburi garam
secukupnya (Santoso, 1998).
Perlakuan untuk cara ini, ikan
dimasukkan kedalam pendil diatur berlapis-lapis serapat mungkin. Di antara
lapisan diberikan garam,setelah pendil/paso penuh ikan ditambahkan air sampai
ikan terendam. Pendil/paso dipanaskan diatas api sampai ikannya masak, yaitu
apabila daging dekat ekor dan kepala susah retak-retak, air yang tersisa
dikeluarkan. Setelah selesai pendil dibingkus dengan daun jati kemudian diikat
supaya tidak pecah selama penyimpanan dan pengangkutan. Pindang bisa tahan
sampai 3 bulan dan biasanya pemindangan dilakukan terhadap ikan layang
(Decapterus spp) dan ikan Bandeng (Chanos-chanos) (Santoso,
1998).
2.3.2. Pindang Muncar
Pindang muncar beda dengan
bawean yaitu dalam acara pemasakan yaitu tidak direbus tetapi dikukus diatas
tungku khusus,sedangkan tempat yang dipakai bukan pendil/paso tanah, tetapi
loko yaitu semacam ayakan dari bambu. Pada pemindangan cara ini harus
disediakan loko, peti pemasakan, tungku khusus serta belanga atau wajan besar.
Ikan dicuci bersih,di mana isi perut dan insangnya tidak dibuang, kemudian ikan
yang sudah bersih direndam dalam air garam jernih (lk. 25%) selama 15 – 30
menit (Santoso, 1998).
Kemudian ikan diatur/dijajar
di atas loko sampai penuh dan ditiriskan ditempat teduh sampai kering.
Loko/ayakan bambu dimasukkkan ke dalam peti pemasakan sampai penuh,air dimasak
dalam belanga sampai mendidih kemudian peti yang berisi loko/ikan diletakkan
diatas belanga sehingga uap air menghembus ikan diatasnya (Santoso,
1998).
Setiap 15 menit loko/ayakan
bambu yang berisi ikan dibagian teratas dipindahkan ke bagian terbawah dan
loko-loko lainnya digeser ke rak atasnya. Ikan sekali-kali dibalik supaya masak
merata. Ikan akan masak bila dikukus selama 1 jam, setelah masak ikan bersama
lokonya disimpan dalam rak-rak bambu di tempat yang teduh, dibiarkan semalam
sehingga kulit ikan menjadi kering dan mengkilap dan pindang ini bertahan
selama 7 – 15 hari (Santoso, 1998).
2.3.3.
Pindang Gaya Baru
Pindang gaya baru merupakan
cara olahan ikan pindang yang baru. Cara membuatnya yaitu: alat dan bahan yang
harus disediakan adalah besek bambu, merang atau daun pisang kering dan garam
sebanyak 20 – 50% dari berat ikan. Ikan yang telah dicuci bersih, dilumuri
denagn garam dan diatur berlapis-lapis dalam besek yang alasnya sudah diberi
merang atau daun pisang kering (Santoso, 1998).
Di atas lapisan merang dan di
antara lapisan-lapisan ikan diberi garam, ikan dalam besek dibiarkan selama 1 –
3 jam supaya garam meresap ke dalam daging ikan. Kemudian besek dimasukkan ke
dalam belanga yang berisi larutan garam yang mendidih. Setelah + 45 menit besek
diangkat dan ditiriskan lalu disimpan. Cara dibandingkan dengan cara Bawea dan
Muncar lebih bersih, lebih sedap dan dagingnya lebih padat. Pindang ikan bias
tahan sampai 3 bulan (Santoso, 1998).
BAB 3
PELAKSANAAN
PRAKTIKUM
3.1.
Tempat dan Waktu
Praktikum Pemindanganini
dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya.
Praktikum pemindangan ini dilaksanakanpada tanggal 31 Maret 2015 pukul 10.00
WIB.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum
penggaraman dan pengeringan ini adalah autoclave, baskom, pisau, telenan serta
timbangan analitik, Sedangkan bahan yang digunakan pada praktikum pemindangan
ini adalah garam halus, garam kasar, ikan nila (Oreochromis niloticus)ikan salem (Elagatis bipinnulatus), ikan
sarden (Sardinella lemuru) dan ikan
tongkol (Euthynnus
affinis)).
3.2.3. Cara
Kerja
Cara kerja dalam
praktikum pemindangan ini adalah :
1.
Ikan disiangi serta dibuang isi perut
(jeroan) dan dicuci hingga bersih.
2.
Rendam ikan dengan air teh selama 10
menit untuk menghilangkan bau lumpur pada ikan.
3.
Kemudia ikan dilumuri dengan bumbu dan
garam.
4.
Ikan dibungkus dengan alumunium foil kemudian dimasukkan
kedalam autoclave.
5.
Rebus ikan sampai masak yang ditandai
dengan retaknya pangkal ekor.
6.
Ikan didinginkan dengan cara mendiamkan autoclave selama setengah jam.
7.
Uji mutu organoleptik terhadap ikan
pindang meliputi penampakan, bau, konsistensi, dan rasa.
BAB 4
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Praktikum dasar-dasar
teknologi pengolahan ikan dengan judul materi pemindangan berdasarkan praktikum
hasil yang didapatkan dapat dilihat dari tabel 4.1, 4.2
dan 4.3 sebagai berikut:
Tabel 4.1. Hasil pengamatan
Praktikum Pemindangan
Kelompok
|
Berat
ikan
|
Konsentrasi
|
Berat
garam
|
1.Nila
|
30g
|
10%
|
3g
|
2.
Kembung
|
50g
|
15%
|
7,5g
|
3.
Sarden
|
40g
|
15%
|
6g
|
4. Sarden
|
40g
|
15%
|
6g
|
5.
Tongkol
|
80g
|
20%
|
16g
|
6.
Salem
|
60g
|
15%
|
9g
|
7.
Nila
|
30g
|
10%
|
3g
|
8.
Nila
|
30g
|
10%
|
3g
|
9. Salem
|
60g
|
15%
|
9g
|
Tabel 4.2. Hasil
pengamatan uji organoleptik ikan 1
Nilai
|
Kriteria
|
Penampakan
|
Aroma
|
konsentrasi
|
Rasa
|
1
|
Amat sangat tidak suka
|
|
|
|
|
2
|
Sangat tidak suka
|
|
|
|
|
3
|
Tidak suka
|
|
|
|
|
4
|
Agak tidak suka
|
|
|
|
|
5
|
Netral
|
|
|
|
|
6
|
Agak suka
|
|
|
|
|
7
|
Suka
|
|
|
|
|
8
|
Sangat suka
|
|
|
ü
|
|
9
|
Amat sangat suka
|
ü
|
ü
|
|
ü
|
Tabel 4.3. Hasil
pengamatan uji organoleptik ikan 2
Nilai
|
Kriteria
|
Penampakan
|
Aroma
|
konsentrasi
|
Rasa
|
1
|
Amat sangat tidak suka
|
|
|
|
|
2
|
Sangat tidak suka
|
|
|
|
|
3
|
Tidak suka
|
|
|
|
|
4
|
Agak tidak suka
|
|
|
|
|
5
|
Netral
|
|
|
|
|
6
|
Agak suka
|
|
|
|
|
7
|
Suka
|
|
|
|
|
8
|
Sangat suka
|
|
|
|
|
9
|
Amat sangat suka
|
ü
|
ü
|
ü
|
ü
|
4.2.
Pembahasan
Pada percobaan
pemindangan ini menggunkan ikan sarden sebagai produk olahan ikan pindang yang
dihasilkan dalam proses pemindangan. pada proses pemindangan ini karena ikan
sarden yang digunakan untuk olahan pemindangan ukurannya tidak terlalu begitu
besar maka dapat menggunakan garam halus untuk pemindanganya. pada proses
pemindangan garam digunakan untuk pemberi cita rasa pada ikan pindang yang
dihasilkan namun garam juga berfungsi sebagai pengawet pada ikan pindang.
Pada percobaan pemindangan ini kelompok kami menggunakan metode pemindangan
garam. Bahan yang digunakan adalah ikan tongkol. Perlakuan penggaraman untuk
ikan tongkol yang digunakan adalah sebanyak 20%. Perlakuan terhadap ikan
pindang yang dihasilkan tidak berbeda. Ikan tongkol yang akan diolah menjadi
ikan pindang dibungkus dengan menggunakan aluminium foil dan direbus ke dalam autoclave selama 20 menit.
Untuk pemindangan garam ini kami menggunakan air teh sebagai edia yang
berfungsi untuk menghilangkan bau amis dan bau lumpur yang terdapat pada ikan
yang akan diolah menjadi ikan pindang sehingga dapat menghasilkan olahan ikan
pindang yang memiliki mutu dan kualitas yang tinggi. Selain menggunakan air teh
pemindangan juga menggunakan bumbu pindang halus yang terdiri dari cabe,
bawang, kunyit dan laos yang berfungsi sebagai pemberi cita rasa pad ikan
pindang yang dihasilkan selain itu bumbu pindang juga berfungsi untuk
mengawetkan ikan dan pemberi aroma harum. Daun salam yang digunakan pada ikan
pindang berguna untuk pemberi aroma kusus pada ikan pindang yang dihasilkan.
Pada perebusan ikan pindang direbus kedalam autoclave selama 20 menit
adalah perebusan pemindangan garam yang menggunakan wadah yang kedap air.
Perebusan ikan pindang memerlukan caktu yang lama untuk dapat menghasilkan
produk olahan ikan pndang yang memiliki mutu dan aroma yang baik. Perebusan
yang lama digunakan untuk peresapan dan pemberian bumbu pindang terhadap ikan
pindang yang dihasilkan.
Setelah perebusan ikan selesai ikan didinginkan dan dilakukan uji
organoleptik terhadap ikan pindang yang dihasilkan, pengujian organoleptik di
nilai dengan pelihat penampakan, bau, konsentrasi dan rasa ikan pindang yang
dihasilkan. Hasil uji organoleptik dari ikan pindang dari kelompok kami adalah
utuh ikan tongkol memiliki tekstur yang baik dengan penampakan ikan pertama
yang utuh, bersih, rapi, dan sangat menarik dengan konsentrasi 9. Ikan tongkol
hasil kelompok kami memiliki spesifikai bau harum, segar, dan spesifik jenis
ikan dengan konsentrasi 9. Konsentrasi ikan tongkol padat, kompak dan agak
lembak dengan konsentrasi 8. Serta memiliki rasa yang sangat enak sekali, gurih
dan spesifik jenis ikan. Dari pemberian konsentrasi ikan pindang yang
dihasilkan sangat baik.
Pada uji organoleptik terhadap ikan pindang kedua memiliki penampakan yang
utuh, rapi, bersih dan sngat menarik ini disebabkan karena pada saat membuka
aluminium foil tidak terdapat kecerobohan dari hal-hal yang tidak diinginkan
dari produk ikan pindang.selin itu ikan kedua memiliki bau harum, segar dan
spesifik jenis ikan pindang yang disebabkan karena pemberian bumbu ikan pindang
sebelum perebusan yang merata yang menyebabkan memiliki bau yang
enak.konsentrasi yang padat dan kompak ini disebabkan karena pengolahan pada
saat penyiangan dan pencucian dilakukan dengan benar dan ikan sebagai bahan
baku pemindangan masih memiliki mutu kesegaran ikan yang tinggi dan segar serta
ikan pindang yang dihasilkan agak lembab. Rasa yang dihasilkan pada ikan
pindang kelompok kami memiliki rasa sangat enak, gurih dan spesifik jenis ikan
pindang.
Dari aroma yang dihasilkan oleh masing-msing perlakuan garam dari ikan
pindang yang dihasilkan menggunakan garam halus memiliki aroma yang kas dan
baik serta aroma sangat mnarik dibandingkan dengan ikan yang menggunakan garam
kasar. Hal ini disebabkan karena tekstur dari garam halus memiliki penyebaran
garam yang merata sehingga aromanya lebih baik.
Dari seluruh ikan pindang yang dihasilkan dengan perlakuan konsentrasi
garam yang berbeda dari uji organoleptik ikan pindang yang dihasilkan yang baik
dikonsumsi oleh masyarakat adalah ikan pindang dengan konsentrasi garam 15% dan
20%. Hal ini disebabkan karena konsentrasi bumbu yang baik dan banyak sehingga
rasa dari bumbu ikan pindang yang dihasilkan memilki rasa yang lebih terasa,
aromanya lebh harum dan lebih baik. Pelumuran bumbu dilakukan baik didalam dan
diluar tubuh ikan pindang. Pelumuran bumbu didalam tubuh ikan memerlukan
konsentrasi yang lebih banyak dibandingkan dengan diluar tubuh ikan pindang
yang dihasilkan.
BAB 5
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1.Kesimpulan
Kesimpulan
yang didapatkan berdasarkan praktikum pemindangan yang telah dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Pemindangan
adalah salah satu proses pengawetan ikan dengan cara ikan direndam dalam
suasana bergaram dalam suatu wadah yang kedap air.
2. Air teh yang digunakan pada proses olahan ikan
pindangan berfungsi sebagai menghilangkan bau amis dan bau lumpur yang terdapat
pada ikan.
3. Pemberian
bumbu pada olahan ikan pindang berguna untuk pemberi citarasa dan aroma yang
baik terhadap mutu ikan pindang yang dihasilkan
4. Perlakuan
pemberian bumbu yang baik akan menghasilkan cita rasa yang baik.
5. Fungsi pengawetan dengan garam adalah untuk menunda autolisis, dan
dapat membunuh bakteri pembusuk secara langsung. Kematian bakteri dalam proses
penggaraman disebabkan karena garam menarik air dari dalam tubuh ikan melalui
proses osmosis.
5.2.Saran
Kelengkapan alat laboratorium harus
dapat dipenuhi agar pada saat praktikum selanjutnya alat yang digunakan dalam
praktikum lebih bias menunjang jalannya praktikum sehingga praktikum dapat
berjalan lebih efektif.