Friday 18 September 2015

Makalah Osmoregulasi Kepiting Bakau

KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang sistem osmoregulasi pada kepiting bakau (Scylla serrata). Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan Makalah ini selain untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen pengajar, juga untuk lebih memperluas pengetahuan para mahasiswa khususnya bagi penulis.
Penulis telah berusaha untuk dapat menyusun Makalah ini dengan baik, namun penulis pun menyadari bahwa kami memiliki akan adanya keterbatasan kami sebagai manusia biasa. Oleh karena itu jika didapati adanya kesalahan-kesalahan baik dari segi teknik penulisan, maupun dari isi, maka kami memohon maaf dan kritik serta saran dari dosen pengajar bahkan semua pembaca  sangat diharapkan oleh kami untuk dapat menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam pengetahuan kita bersama. Harapan penulis makalah ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian.



                                   
                                                                                                             


  Indralaya, 9 Februari 2015



















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................1

DAFTAR ISI.............................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN
             A. Latar Belakang.........................................................................................................3
             B. Tujuan......................................................................................................................3
             C. Rumusan Masalah....................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
            A. Pengertian Osmoregulasi...........................................................................................4
            B. Prinsip-prinsip Osmoregulasi....................................................................................4
            C. klasifikasi Kepiting Bakau........................................................................................5
            D. Morfologi dan Anatomi Kepiting Bakau..................................................................6
            E. Osmoregulasi pada Kepiting.....................................................................................7


BAB 3 PENUTUP
             Kesimpulan....................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................            ..10
  


















BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
            Kehidupan suatu organisme sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik faktor fisika, faktor kimia dan biologi. Salah satu faktor yang mendukung kehidupan organisme di perairan adalah kadar salinitas dalam perairan.
            Tinggi rendahnya salinitas disuatu perairan baik itu air tawar, payau maupun perairan asin akan mempengaruhi keberadaan organisme yang ada di perairan tersebut, hal ini sangat terkait erat dengan tekanan osmotik dari ikan untuk melangsungkan kehidupannya. Ikan akan mengalami stress dan bahkan akan mengalami kematian akibat osmoregulasi yang tidak seimbang.
            Perubahan salinitas juga dapat mempengaruhi permeabilitas dinding sel ketika salinitas mengalami perubahan. Pada saat tersebut ikan akan mengalami kecenderungan untuk mampu atau tidaknya ikan untuk melakukan keseimbangan osmotiknya dalam rangka mengatur dan berfungsi dengan normal sesuai dengan kebutuhannya, salinitas dalam suatu perairan pada media yang berbeda juga akan mempengaruhi proses metabolisme untuk pertumbuhannya.
Kepiting bakau (S. serrata) merupakan salah satu biota potensial yang hidup di daerah mangrove memiliki nilai ekonomis tinggi. Dan merupakan spesies yang khas di kawasan hutan bakau (mangrove) dan hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir. Di Indonesia banyak sekali jenis kepiting yang tersebar, mulai dari lingkungan air tawar, laut hingga daratan. Meskipun mampu hidup di air maupun di daratan, tetap ada tempat-tempat yang sangat disukai oleh jenis kepiting tertentu. Setiap kepiting mempunyai tempat hidup yang spesifik dan mungkin berbeda satu dengan yang lainnya, Pada umumnya kepiting ini banyak ditemukan di daerah hutan bakau.

B.     TUJUAN
  1. Agar kita tahu apa yang di maksud dengan osmoregulasi.
  2. Agar kita tahu prinsip-prinsip osmoregulasi.
  3. Agar kita tahu morfologi dan anatomi dari kepiting bakau (S. Serrata).
  4. Agar kita tahu mekanisme osmoregulasi pada kepiting bakau (S. Serrata).


C.     RUMUSAN MASALAH
  1. Apa yang di maksud dengan osmoregulasi?
  2. Bagaimana prinsip-prinsip osmoregulasi?
  3. Bagaimana morfologi dan anatomi dari kepiting bakau (S. Serrata)?
  4. Bagaimana mekanisme osmoregulasi pada kepiting bakau (S. Serrata)?


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Osmoregulasi

Osmoregulasi adalah proses pengatur konsentrasi cairan dan menyeimbangkan pemasukan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme hidup. Sedangkan pengertian osmoregulasi bagi ikan adalah merupakan upaya ikan untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungan melalui mekanisme pengaturan tekanan osmotik. Proses osmoregulasi diperlukan karena adanya perbedaan konsentrasi cairan tubuh dengan lingkungan disekitarnya. Jika sebuah sel menerima terlalu banyak air maka ia akan meletus, begitu pula sebaliknya, jika terlalu sedikit air, maka sel akan mengerut dan mati. Osmoregulasi juga berfungsi ganda sebagai sarana untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup. Untuk menghadapi masalah osmoregulasi ikan melakukan pengaturan tekanan osmotiknya dengan cara:
1.      Mengurangi gradien osmotik antara cairan tubuh dengan lingkungannya.
2.      Mengurangi permeabilitas air dan garam.
3.      Melakukan pengambilan garam secara selektif.

B. Prinsip-Prinsip Osmoregulasi

Terhadap lingkungan hidupnya, ada hewan air yang membiarkan konsentrasi cairan tubuhnya berubah-ubah yang mengikuti perubahan mediumnya (osmokonformer). Kebanyakan Invertebrata laut tekanan osmotik cairan tubuhnya sama dengan tekanan osmotik air laut. Cairan tubuh demikian di katakan isotonik atau isoasmotik dengan medium tempat hidupnya. Bila terjadi perubahan konsentrasi dalam mediumnya, maka cairan tubuhnya di sesuaikan dengan perubahan tersebut (osmokonformitas).

Sebaliknya ada hewan yang mempertahankan agar tekanan osmotik cairan tubuhnya relatif konstan lebih rendah dari mediumnya (hipoosmotik) atau lebih tinggi dari mediumnya (hiperosmotik). Untuk mempertahankan cairan tubuh relatif konstan, maka hewan melakukan regulasi osmotik (osmoregulasi), hewannya di sebut regulator osmotik atau osmoregulator. Ada dua macam regulasi osmotik yaitu regulasi hipoosmotik dan regulasi hiperosmotik. Pada regulator hipoosmotik misalnya ikan laut, hewan ini selalu mempertahankan konsentrasi cairan tubuhnya lebih rendah dari mediumnya (air laut). Sedangkan pada regulator hiperosmotik, misalnya ikan air tawar, hewan ini selalu mempertahankan konsentrasi cairan tubuhnya lebih tinggi daripada mediumnya (air tawar).

Beberapa hewan ada yang toleran terhadap rentangan luas konsentrasi garam mediumnya, hewan demikian di sebut euryhaline. Sedangkan hewan lain hanya toleran terhadap rentangan yang sempit konsentrasi garam mediumnya, hewan demikian disebut stenohaline.

Fenomena lain yang biasanya berhubungan sangat dekat dengan tingkat perkembangan kapasitas osmoregulasi adalah kemampuan hewan mengontrol kadar air dalam tubuhnya. Osmokonformitas rupanya adalah hasil kombinasi dari ketidakmampuan hewan mengontrol volume tubuh dan ketidakmampuan mengontrol isi larutan tubuh. Sebaliknya osmoregulasi merupakan manifestasi perkembangan kemampuan yang baik dari kedua proses tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa hewan osmokonformer juga merupakan konformer volume, sebaliknya osmoregulator juga merupakan regulator volume.

 Terdapat tiga pola regulasi ion air yaitu :
a.       Regulasi hipertonik atau hipersomatik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi media.  Hal ini terjadi misalnya pada ikan air tawar (Potadrom).
b.      Regulasi hipertonik atau hiposomotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media.  Hal ini terjadi pada jenis ikan air laut (Oseandrom).
c.       Regulasi isotonic atau isoosmotik, yaitu bila konsentrasi cairan tubuh sama dengan konsentrasi media, sama dengan ikan – ikan yang hidup pada daerah eustaria (Hartono, 1993). 

Fluktuasi salinitas juga dapat membawa dampak yang buruk bagi organisme yang hidup pada perairan tersebut yang selalu senantiasa untuk beradapatasi terhadap perubahan ion-ion yang terkandung disuatu media tersebut sehingga dapat mengakibatkan organisme mengalami stress dan bahkan mengalami kematian jika ikan tak mampu lagi menjaga keseimbangan osmotiknya (Sukamto, 1992).
           
Osmoregulasi sangat di pengaruhi oleh Konsentrasi osmotik dalam tubuh pada organisme yang hidup di laut sama dengan air laut sekitarnya disebut osmoconformer, perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan suatu osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, namun tetap ada batas toleransi (Fujaya, 2004).  Dan perbedaan kecepatan aliran darah atau air dari dalam tubuh antara ikan air tawar dan laut pada dasarnya sama tetapi tergantung pada spesiesnya.

  1. KLASIFIKASI KEPITING BAKAU

KLASIFIKASI KEPITING BAKAU
Phylum       : Arthropoda
Classis        : Crustacea
Subclassis   : Malacostraca
Ordo          : Decapoda
Sub ordo : Branchyura
Familia       : Portunidae
Genus         : Scylla
Spesies       : Scylla sp. S. serrata, S. tranquebarica, S. Paramamosain , S. Olivacea.

  1. MORFOLOGI DAN ANATOMI KEPITING BAKAU

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwIj4DI4ymyyEigU57ySSF8eulQS3JtarSWcKCpr4jScyJeswtJ8611cKnGXGei5uze1zhYDOzjoPtgaphjhWqJkmDfVD_P-knGe2bWZF5phmNo-eLk9mU8uyH605fWA5Crl5UBNt7qpY/s400/Gambar+1.jpg
Bagian-Bagian Kepiting Bakau


Ciri- ciri kepiting bakau menurut Kasry (1996) adalah sebagai berikut: karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kiri-kanannya terdapat Sembilan buah duri-duri tajam, dan pada bagian depannya diantaranya tangkai mata terdapat enam buah duri, sapit kanannya lebih besar dari sapit kiri dengan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi dengan alat pendayung.

Kepiting adalah binatang crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax. Hewan ini dikelompokkan ke dalam Phylum Athropoda, Sub Phylum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Suborder Pleocyemata dan Infraorder Brachyura. Tubuh kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang sangat keras, dan dipersenjatai dengan sepasang capit.

Kepiting hidup di air laut, air tawar dan darat dengan ukuran yang beraneka ragam, dari pea crab, yang lebarnya hanya beberapa millimeter. Menurut Prianto walaupun kepiting mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh kepiting mempunyai chelipeds dan empat pasang kaki jalan. Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit, chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulitkerang dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting juga ditutupi dengan Carapase. Carapase merupakan kulit yang keras atau dengan istilah lainexoskeleton (kulit luar) berfungsi untuk melindungi organ dalam bagian kepala, badan dan insang. Kepiting sejati mempunyai lima pasang kaki; sepasang kaki yang pertama dimodifikasi menjadi sepasang capit dan tidak digunakan untuk bergerak. Di hampir semua jenis kepiting, kecuali beberapa saja (misalnya, Raninoida), perutnya terlipat di bawah cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh maxilliped yang rata, dan bagian depan dari carapase tidak membentuk sebuah rostrum yang panjang.

Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih (phyllobranchiate), mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang berbeda. Insang yang terdapat di dalam tubuh berfungsi untuk mengambil oksigen biasanya sulit dilihat dari luar. Insang terdiri dari struktur yang lunak terletak di bagian bawah carapase. Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagian depan carapase. Jantung berfungsi sebagai sistem peredaran darah. Hati berfungsi sebagai alat untuk menghasil kelenjar-kelenjar yang diperlukan oleh tubuh.  Kelenjar pencernaan berfungsi sebagai alat dalam sistem pencernaan. Jenis kelamin kepiting sangat mudah di tentukan, yaitu dengan mengamati organ kelamin berbentuk segitiga yang sempit dan agak meruncing di bagian depan. Sedangkan alat kelamin betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan bagian depanya agak tumpul. Alat kelamin jantan terdiri dari sebuah testis berwarna putih dan terletak dibawah sinusparicardi dan organ kelamin betina berupa ovarium yang tempat dan bentuknya menyerupai testis.
 Habitat: jenis Kepiting ini hidup di hutan bakau; termasuk jenis demersal dan melakukan proses ganti kulit setiap 15 hari sekali (proses pertumbuhan). Jenis makanannya adalah Detritus.

  1. Osmoregulasi pada Kepiting

Kepiting merupakan hewan osmoregulator, yaitu hewan yang mempunyai mekanisme faali untuk menjaga kestabilan lingkungan internalnya, dengan cara mengatur osmoralitas (kandungan garam dalam air) pada cairan internalnya. Organ-organ sistem osmoregulasi yaitu, ginjal, insang, lapisan tipis mulut. Fungsi dari ginjal di sini menyaring sisa-sisa proses metabolisme untuk dibuang, zat-zat yang diperlukan tubuh diedarkan lagi melalui darah dan mengatur kekentalan urin yang dibuang untuk menjaga keseimbangan tekanan osmotik cairan tubuh. Dalam osmoregulasi ini, kepiting memerlukan transportasi aktif, terutama pompa Na – K – ATPase, untuk mempertahankan gradien osmotik dalam tubuh bergerak normal.
Tekanan osmotik dalam sel akan mempengaruhi komposisi protein pada kondisi stress osmotik, juga terhadap penggunaan energi akibat aktivitas transportasi aktif, sehingga terjadi gradasi bahan-bahan yang kaya energi seperti lemak, dan karbohidrat. Protein juga akan mengalami gradasi, karena turut berperan dalam sistem pompa ion pada membran sel (protein membran sel/carrier) dan biokatalisator (enzim Na – K ATP ase). Dua macam enzim yang membantu transport ion melewati insang krustasea adalah karbonat anhidrase dan arginin kinase. Karbonat anhidrase menyediakan ion H+ dan HCO3- sebagai lawan ion na+ dan Cl- untuk pertukaran dengan mengkatalisis hidrasi CO2 di dalam sel insang. Aktifitas dari karbonat anhidrase dalam sitoplasma insang akan bertambah secara drastis ketika kepiting berpindah dari tempat yang bersalinitas yang tinggi ke tempat yang bersalinitas rendah, dimana fungsinya menyediakan ion yang akan akan melawan ion NaCl pada saat penyerapan. Proses penggunaan ATP dalam rangka transpor ion tergantung pada kerja enzim arginin kinase. Kepiting yang berpindah dari salinitas yang tinggi ke salinitas rendah, akan menyebabkan aktifitas enzim arginin kinase bertambah kelipatan dua dalam insang.
Jika salinitas terlalu tinggi, kepiting mengalami kondisi hipoosmotik, air dari dalam tubuh cenderung bergerak keluar secara osmosis. Sehingga, kepiting akan berusaha mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dengan mencegah agar cairan urin tidak lebih pekat dari hemolimfenya. Dengan begitu, kepiting harus mengekstrak H2O dengan cara minum air serta memasukkan air lewat insang dan kulit (saat moulting). Aktivitas ini mengeluarkan energi yang cukup besar. Dalam kondisi salinitas rendah, kepiting mengalami kondisi hiperosmotik.
Air dalam media cendrung menembus masuk ke dalam tubuh, lewat lapisan kulit tipis kepiting. Kepiting mengantisipasinya dengan mengeluarkan air lewat kelenjar eksresi (kelenjar antena), juga memompa keluar air melalui urin. Pembelanjaan energi pun dibutuhkan untuk pengambilan ion-ion pada salinitas air rendah. Dengan kata lain, kepiting yang merupakan organisme laut tipe osmoregulator-eurihaline ini memiliki pengaruh langsung terhadap salinitas media, tepatnya pada kemampuan pencernaan serta absorbsi sari pakan. Pengaruh salinitas yang tidak kalah penting yaitu dapat meningkatkan laju konsumsi oksigen, serta perubahan pola respirasi. Sehingga, pertumbuhan akan efektif bila kepiting hidup pada media yang tidak jauh dari titik isoosmotik.





























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Osmoregulasi adalah proses pengatur konsentrasi cairan dan menyeimbangkan pemasukan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme hidup. Sedangkan pengertian osmoregulasi bagi ikan adalah merupakan upaya ikan untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungan melalui mekanisme pengaturan tekanan osmotik. Kepiting merupakan hewan osmoregulator, yaitu hewan yang mempunyai mekanisme faali untuk menjaga kestabilan lingkungan internalnya, dengan cara mengatur osmoralitas (kandungan garam dalam air) pada cairan internalnya. Organ-organ sistem osmoregulasi yaitu, ginjal, insang, lapisan tipis mulut. Kepiting yang berpindah dari salinitas yang tinggi ke salinitas rendah, akan menyebabkan aktifitas enzim arginin kinase bertambah kelipatan dua dalam insang.
Jika salinitas terlalu tinggi, kepiting mengalami kondisi hipoosmotik, air dari dalam tubuh cenderung bergerak keluar secara osmosis. Sehingga, kepiting akan berusaha mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dengan mencegah agar cairan urin tidak lebih pekat dari hemolimfenya. Dengan begitu, kepiting harus mengekstrak H2O dengan cara minum air serta memasukkan air lewat insang dan kulit (saat moulting). Aktivitas ini mengeluarkan energi yang cukup besar. Dalam kondisi salinitas rendah, kepiting mengalami kondisi hiperosmotik.

Air dalam media cendrung menembus masuk ke dalam tubuh, lewat lapisan kulit tipis kepiting. Kepiting mengantisipasinya dengan mengeluarkan air lewat kelenjar eksresi (kelenjar antena), juga memompa keluar air melalui urin. Pembelanjaan energi pun dibutuhkan untuk pengambilan ion-ion pada salinitas air rendah. Dengan kata lain, kepiting yang merupakan organisme laut tipe osmoregulator-eurihaline ini memiliki pengaruh langsung terhadap salinitas media, tepatnya pada kemampuan pencernaan serta absorbsi sari pakan. Pengaruh salinitas yang tidak kalah penting yaitu dapat meningkatkan laju konsumsi oksigen, serta perubahan pola respirasi. Sehingga, pertumbuhan akan efektif bila kepiting hidup pada media yang tidak jauh dari titik isoosmotik.
LAPORAN TETAP
 PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AIR
Respirasi Pada Ikan
Fish Respiration








Anggi Meisardi
05051181419050
Kelompok V











PROGRAM STUDI AKUAKULTUR
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015





BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Respirasi (pernapasan) adalah poses pertukaan oksigen dan karbondioksida antara suatu organisme dengan lingkungannya. Peranan oksigen dalam kehidupan ikan merupakan zat yang mutlak dibutuhkan oleh tubuh yaitu untuk mengoksidasi zat makanan ( karbohidrat, lemak, dan protein) sehingga dapat menghasilkan energy. Tingkah laku ikan saat kandungan oksigen dalam air kurang adalah ikan akan berenang ke tempat yang lebih baik kondisi oksigennya seperti : ke dekat inlet, air yang berarus dan ke daerah permukaan serta dengan jalan meningkatan fekuensi pemompaan air atau mempebesar volume air yang melewati insang (Affandi, 2001).
Adapun komponen-komponen pada sistem pernapasan antara lain : alat pernapasan (insang), oksigen dan karbondioksida, dan darah (butir-buti darah merah, Hb). Prinsip pernapasan yaitu proses pertukaan gas terjadi secara difusi. Pada proses difusi terjadi suatu aliran molekul gas dari lingkungan/ruang yang konsentrasi gasnya tinggi ke lingkungan/ruang yang konsentrasi gasnya rendah (Affandi, 2001).
Beberapa ikan dilengkapi alat pernapasan tambahan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang kurang sesuai, misalnya diverticula pharynx, labyrinth, vesica natatoria, dikarenakan  ada beberapa jenis ikan yang merasa jenuh sehingga ikan muncul kepermukaan walau ikan dilengkapi dengan alat pernapasan (Affandi, 2001).
Kelangsungan hidup ikan sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mendapatkan oksigen yang cukup dari lingkungan sekitarnya. Berkurangnya oksigen terlarut dalam air akan mempengaruhi fisiologi respirasi dan metabolisme tubuh ikan. Untuk lebih mengetahui mekanisme pernapasan oleh ikan baik dengan alat pernapasan biasa ataupun alat pernapasan tambahan maka praktikum ini dilaksanakan(Affandi, 2001).


1.2.  Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah mengamati respirasi pada ikan.

1.3.  Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat mengetahui respirasi pada ikan.




BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.  Sistematika dan Morfologi Ikan Patin (Pangasius sp)
Adapun sistematika ikan Patin (Pangasius sp) menurut Saanin (2003), yaitu sebagai berikut:
Kingdom                : Animalia
phylum                   : Chordata
sub phylum            : Vertebrata
class                       : Pisces
sub class                 : Teleostei
ordo                       : Ostariophysi
sub Ordo                : Siluroidei
family                     : Schilbeidae
genus                      : Pengasius
spesies                    : Pangasius sp
Ikan patin memiliki warna tubuh putih agak keperakan dan punggung agak kebiruan, bentuk tubuh memanjang, kepala relatif kecil, pada ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua pasang sungut yang  pendek. Pada sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris. Ikan patin tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif  panjang yang terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Memiliki sirip dada 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal dengan patil, di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat sirip lemak yang berukuran kecil (Saanin, 2003).
Ikan Patin nama Inggrisnya Catfish, yang termasuk dalam Famili Pangasidae, Ikan Patin bersifat nocturnal (lebih banyak melakukan aktivitas di malam hari), juga sifatnya yang Omnivora (pemakan segala macam makanan), antara lain cacing, serangga, udang, ikan yang kecil–kecil dan biji–bijian , bahkan sabun detergen batangan (Affandi, 2001).
Ikan Patin, termasuk ikan dasar, dapat terlihat dari bentuk mulutnya yang terletak lebih kebawah, dan habitat ikan ini di sungai–sungai besar , dan muara– muara sungai, dan tersebar di Indonesia, Myanmar dan india (Affandi, 2001). 
          Banyak kerabat Ikan Patin ini yang termasuk dalam keluarga Pangasidae ini, antara lain yang tersebar di Indonesia pada umumnya memiliki ciri–ciri bentuk badannya sedikit memipih, tidak bersisik atau ada yang bersisik sangat halus, mulutnya kecil dan ada sungutnya berjumlah 2-4 pasang yang berfungsi sebagai alat peraba, terdapat Patil/panting pada sirip punggungnya juga sirip dadanya, sirip duburnya panjang dimulai dari belakang dubur hingga sampai pangkal sirip ekor (Affandi, 2001).

 2.2.  Habitat dan Penyebaran Ikan Patin
Habitat dan penyebaran ikan patin (pangasius sp) dimana patin tidak pernah ditemukan di daerah payau atau di air asin. Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air (Affandi, 2001).
Habitat atau lingkungan hidup ikan patin banyak ditemukan di perairan air tawar, di dataran rendah sampai sedikit payau. Penyebaran ikan patin di Indonesia berada di Pulai Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Ikan patin secara alami berada di perairan umum, namum seiring dengan semakin banyaknya petani yang membudidayakan ikan patin ini, pemeliharaan ikan patin banyak dilakukan di kolam-kolam buatan (Affandi, 2001).

2.3.  Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan ikan (food habits) adalah kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan ikan. Kebiasaan makan ikan diperlukan untuk mengetahui gizi alamiah ikan tersebut sehingga dapat dilihat hubungan ekologi diantara organisme diperairan itu, misalnya bentuk– bentuk pemangsaan, saingan dan rantai makanan. Jadi makanan dapat merupakan faktor yang menentukan bagi populasi pertumbuhan dan kondisi ikan. Jenis makanan dari spesies ikan biasanya tergantung umur, tempat dan waktu (Affandi, 2001).
Ikan Patin termasuk ikan yang beraktifitas pada malam hari atau nocturnal. Ia termasuk ikan ikan dasar . Secara fisik memang dari bentuk mulut yang lebar persis seperti ikan demersal lain seperti lele dan ikan gabus. Malam hari ia akan keluar dari lubangnya dan mencari makanan renik yang terdiri dari cacing, serangga, udang sungai, jeni–jenis siput dan biji–bijian juga. Dari sifat makannya ikan ini juga tergolong ikan yang sangat rakus karena jumlah makannya yang besar (Affandi, 2001).
Ikan patin mempunyai kebiasaan makan di dasar perairan atau kolam (bottom feeder). Berdasarkan jenis pakannya, ikan patin digolongkan sebagai ikan yang bersifat omnivora (pemakan segala). Namun, pada fase larva, ikan patin cenderung bersifat karnivora. Pada saat larva, ikan patin bersifat kanibalisme atau bersifat sebagai pemangsa. Oleh karena itu, ketika masih dalam tahap larva, pemberian pakan tidak boleh terlambat (Affandi, 2001).

2.4.   Kualitas Air
Air merupakan media hidup bagi ikan dimana di dalamnya mengandung berbagai bahan kimia lainnya, baik yang terlarut dan dalam bentuk partikel. Kualitas air bagi perikanan didefenisikan sebagai air yang sesuai untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan, dan biasanya hanya ditentukan dari beberapa parameter. Unsur kualitas air yang paling berpengaruh terhadap kehidupan ikan antara lain suhu, oksigen terlarut (DO), keasaman (pH) dan kesadahan (Subani, 2000).
Kualitas air sangat berhubungan erat dengan kelangsungan hidup ikan patin di bak pendederan. Parameter kualitas air yang baik untuk  dilakukannya budidaya ikan patin. (Subani, 2000).

2.4.1.  Suhu
Setiap spesies mempunyai kisaran suhu yang berbeda, maka bila terjadiperubahan di luar kisaran suhu tersebut akan membuat ikan stess bahkan bisamengakibatkan kematian. Suhu yang lebih tinggi dari kisaran suhu optimal akanmeningkatkan toksisitas dari kontaminan terlarut yang kemudian meningkatkanpertumbuhan dari patogen, menurunkan konsentrasi oksigen terlarut,meningkatkan konsumsi oksigen dari peningkatan suhu tubuh, serta meningkatkanlaju metabolisme. Sebaliknya suhu yang lebih rendah dari kisaran suhu optimumakan mengakibatkan respon imunitas menjadi lebih lambat, mengurangi nafsumakan, aktifitas dan pertumbuhan .
Demikian juga diungkapkan oleh Effendi (2000) bahwa suhu airberpengaruh tehadap aktifitas penting terutama pernafasan, reproduksi serta lajumetabolisme. Secara umum fluktuasi suhu yang membahayakan bagi ikan ialah 50C dalam waktu 1 jam. Untuk transportasi jarak jauh dan lama (lebih dari 24 jam)oksigen harus selalu tersedia dan suhu tidak boleh melebihi 280C, adapun suhuyang ideal untuk transportasi ikan tropis adalah 20-24oC. Suhu pemeliharaan ikanpatin umumnya berkisar antara 26,5-28oC untuk pembesaran dan29-32oC untuk pembenihan (Effendi,2000).

2.4.2.  Derajat Keasaman (pH).
Aktifitas ikan patin yang memproduksi asam dari hasil proses metabolisme dapat mengakibatkan penurunan pH air, kolam yang lama tidak pernah mengalami penggantian air akan menyebabkan penurunan pH, hal ini disebabkan karena peningkatan produksi asam oleh ikan patin yang terakumulasi terus-menerus didalam kolam dan ini dapat menyebabkan daya racun dari amoniak dan nitrit dalam budidaya ikan nila akan meningkat lebih tajam. pH yang sesuai agar pertumbuan ikan patin optimum adalah pada pH 6 – 7 (Subani, 2000).

2.4.3.  Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO)
Oksigen terlarut (DO) adalah salah satu parameter kualitas air yang penting. Kekurangan oksigen biasanya merupakan penyebab utama kematian ikan secara mendadak dan dalam jumlah besar. Mempertahankan kondisi DO dalamkisaran normal akan membantu mempertahankan kondisi ikan selama penanganan. Konsentrasi DO yang terlalu rendah menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kesehatan ikan seperti anoreksia, stres pernafasan, hipoksia jaringan, ketidaksadaran, bahkan kematian.Bobot ikan dan suhu air merupakan faktor penting yang mempengaruhikonsumsi oksigen ikan dalam kaitannya dengan metabolisme selama transportasi.Ikan yang lebih berat dan yang diangkut menggunakan air yang lebih hangatmemerlukan oksigen yang lebih banyak. Apabila suhu air meningkat 10°C(misalnya dari 10°C menjadi 20°C), maka konsumsi oksigen akan meningkat 2 kali lipatnya. Oksigen terlarut di dalam mediatransportasi ikan harus lebih besar dari 7 mg/l dan lebih kecil dari tingkat jenuh,sebab kebutuhan oksigen akan meningkat pada saat kadar CO2 tinggi dan stres penanganan sehingga untuk persiapan disediakan dua kali kebutuhan normal. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuktransportasi ikan harus lebih dari 2 mg/l (Rianaya,2011).
Konsumsi oksigen tertinggi pada ikan terjadi 15 menit pertama dari saat transportasi.Pada benih ikan patin siam, tingkat konsumsi oksigen benih yang berukuran lebih besar cenderung lebih tinggi dibandingkan benih ukuran yanglebih kecil namun bila berdasarkan tingkat konsumsi oksigen perkilogram nya, benih yang berukuran lebih kecil memiliki tingkat konsumsi oksigen yang lebih besar.(Rianaya,2011).

2.5.  Sistematika dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis nilotichus)
          Sistematika ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Saanin (2003) adalah sebagai berikut:
kingdom     : Animalia                                                                                               
filum          : Chordata                                                                                                                                                                                         
kelas           : Pisces                                                                                              
ordo          : Perchomorphi                                                                                  
famili        : Chiclidae                                                                                                                 
genus        : Oreochromis                                                                                
spesies       :Oreochromis niloticus
Perbandingan panjang badan dan tinggi badan pada ikan nila adalah 3 : 1. Pada sirip ikan nila terdapat garis-garis tegak lurus dan pada sirip punggung terdapat garis-garis yang condong atau tegak lurus dengan sirip. Bentuk badan pipih berbentuk lonjong, matanya menonjol dan bagian tepinya berwarna putih, dagingnya tebal dan tidak terdapat duri-duri halus didalamnya, kepalanya besar, mulutnya lebar, bibirnya tebal, sisik besar-besar dan kasar, sirip punggung dan sirip belakang memiliki jari-jari yang tajam seperti duri (Saanin, 2003).
Ciri-ciri pada ikan nila ini adalah mempunyai ujung sirip kemerah-merahan pucat, warna perut lebih putih, lubang urogenitalia ada 3 buah anus paling depan, lubang telur dan lubang urine, warna dagu kehitam-hitaman atau kemerah-merahan, perut jika distripping tidak mengeluarkan cairan. Sedangkan pada ikan nila jantan  yaitu ujung sirip memiliki warna kemerah-merahan yang jelas, warna perut kehitam-hitaman, lubang urogenitalia ada 2 buah yaitu lubang sperma merangkap urine, warna dagu putih, perut jika distripping mengeluarkan cairan berupa air (Affandi, 2001).
Secara morfologis ikan nila memiliki bentuk tubuh simetris bilateral, panjang dan ramping dengan perbandingan antara panjang total dengan tinggi 3:1, mulut terminal dan dapat di sumbulkan. Sirip yang terdapat pada ikan nila yaitu ikan nila mempunyai lima buah sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada(Pectoral fin). Sirip punggung memanjang mulai dari bagian atas tutup insang sampai bagian atas sirip ekor, sirip dada dan sirip perut masing-masing adda sepasang dengan ukuran kecil, sirip anus hanya sebuah dengan bentuk agak panjang, sementara sirip ekornya pun hanya satu buah dengan bentuk  membulat (DPVAC dengan D panjang dan P pendek, posisi V  terhadap P adalah abdomen, sirip C tegak) (Saanin, 2003).

2.6.  Habitat dan Penyebaran Ikan Nila
Ikan nila merupakan ikan konsumsi yang umum hidup di perairan tawar. Meskipun kadang-kadang ikan nila juga ditemukan hidup di perairan yang agak asin (payau). Oleh karena itu ikan nila dikenal juga sebagai ikan yang bersifat euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Ikan nila mendiami berbagai habitat air tawar, termasuk saluran air yang dangkal, kolam, sungai dan danau. Ikan nila dapat menjadi masalah sebagai spesies invasif pada habitat perairan hangat, tetapi sebaliknya pada daerah beriklim sedang karena ketidakmampuan ikan nila untuk bertahan hidup di perairan dingin, Budidaya ikan nila juga dapat dilakukan di kolam-kolam tanah ataupun tangki-tangki pembesaran buatan (Andrianto, 2005).
Ikan nila pertama kali didatangkan dari Taiwan ke Bogor (Balai Penelitian Perikanan Air Tawar) pada tahun 1969. Setahun kemudian, ikan ini mulai ditebarkan ke beberapa daerah. Pemberian nama nila berdasarkan ketetapan Direktur Jenderal Perikanan pada tahun 1972. Nama tersebut diambil dari narna species ikan ini, yakni nilotica yang kemudian diubah menjadi . Nama nilotica menunjukan daerah asal ikan ini, yaitu sungai (Andrianto, 2005).
Secara alami ikan ini melakukan migrasi dari habitat aslinya di sungai Nil di Uganda (bagian hulu Sungai Nil) kw arah selatan melewati Danau Raft dan Tanganyika hingga ke Mesir (sepanjang Sungai Nil). Nila juga terdapat di Afrika bagian tengah dan barat. Populasi terbanyak ditemukan di kolam-kolam ikan di Chad dan Nigeria. Dengan campur tangan manusia, saat ini nila telah menyebar ke seluruh dunia mulai dari Benua Afrika, Amerika, Eropa, Asia, dan Australia. (Andrianto, 2005)
Klasifikasi awalnya, nila dimasukkan ke dalam jenis Tilapia nilotica atau ikan dari golongan tilapia yang tidak mengerami telur dan larva di dalam mulut induknya. Dalam perkembangannya, para pakar perikanan menggolongkannya ke dalam jenis Sorotherodon niloticus atau kelompok ikan tilapia yang mengerami telur dan larvanya di dalam mulut induk jantan dan betina. Akhirnya, diketahui bahwa yang mengerami telur dan larva di dalam mulut hanya induk betinanya. Para pakar perikanan kemudian memutuskan bahwa nama ilmiah yang tepat untuk ikan ini adalah Oreochromis niloticus atau Oreochromis sp. (Andrianto, 2005).
Karena mudahnya dipelihara dan dibiakkan, ikan ini segera diternakkan di banyak negara sebagai ikan konsumsi, termasuk di berbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi mengingat rasa dagingnya yang tidak istimewa, ikan nila juga tidak pernah mencapai harga yang tinggi. Di samping dijual dalam keadaan segar, daging ikan nila sering pula dijadikan fillet (Andrianto, 2005).

2.7.  Kebiasaan Makan Ikan Nila
Ikan nila merupakan jenis ikan yang aktif mencari makan pada siang hari. Aktivitas makan ikan ini banyak dilakukan pada siang hari. Pada malam hari, mereka lebih banyak beristirahat, contohnya yaitu ikan mas, nila, bawal, dan gurami (Andrianto, 2005).
Kebiasaan makan dan laju pertumbuhan ikan nila. Ikan nila tergolong ikan pemakan segala (omnivora) sehingga bisa mengonsumsi pakan berupa hewan atau tumbuhan. Karena itu, ikan ini sangat mudah dibudidayakan. Ketika masih benih, pakan yang disukainya adalah zooplankton (plankton hewani), seperti Rotifera sp., Moina sp. Atau Daphnia sp. Selain itu benih nila juga memakan alga atau lumut yang menempel di bebatuan yang ada di habitat hidupnya. Ketika dibudidayakan, nila juga memakan tanaman air yang tumbuh di kolam budidaya
(Andrianto, 2005).
Jika telah mencapai ukuran dewasa, ikan ini bisa diberi berbagai pakan tambahan seperti pellet laju pertumbuhan tubuh nila yang dibudidayakan tergantung dari pengaruh fisika dan kimia perairan dan interaksinya. Sebagai contoh, Curah hujan yang tinggi akan mengganggu pertumbuhan tanaman air dan secara tidak langsung akan memengaruhi pertumbuhan nila yang dipelihara.( Andrianto, 2005).

2.8.  Kualitas Air
Ikan nila cocok dipelihara di dataran rendah sampai agak tinggi  (500 m  dpl) Kualitas air untuk pemeliharaan ikan nila harus bersih, tidak terlalu keruh  dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. Kekeruhan air yang disebabkan oleh pelumpuran akan memperlambat pertumbuhan ikan. Debit air untuk kolam air tenang 8-15 liter/detik/ha. Kondisi perairan tenang dan bersih, karena ikan nila tidak dapat berkembang biak dengan baik di air arus deras.( Andrianto, 2005).
Air yang digunakan dalam pembesaran ikan nila besaral dari aliran air sungai dan campuran dari iar hujan. Pengelolaan kualitas air yang digunakan yaitu dengan cara penanganan terhadap air serta pengecekan parameter kualitas air dengan menggunakan alat ukur kualitas air seperti termometer untuk mengukur suhu, DO meter sebagai pengukur kandungan oksigen, pH meter untuk pengecekan pH, dan amoniak.( Andrianto, 2005).

2.8.1.  Suhu
Suhu optimal untuk ikan nila antara 25-300 C. Oleh karena itu ikan nila cocok dipelihara di dataran rendah sampai agak tinggi 500 m diatas permukaan laut.(Lesmana, 2001).


2.8.2.  pH
Ikan nila yang masih kecil lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dibandingkan ikan yang sudah besar. Nilai pH air tempat hidup ikan nila berkisar antara 6-8,5. Namun, pertumbuhan optimal terjadi pada pH 7-8.(Andrianto, 2005).

2.8.3.  Oksigen Terlarut (DO)
   Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang dapat memberikan kesuburan perairan (Salmin, 2005).
Nilai oksigen di dalam pengelolaan kesehatan ikan sangat penting karena kondisi yang kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan dapat mengakibatkan ikan stress sehingga mudah terserang penyakit. Kebutuhan oksigen untuk tiap jenis biota air berbeda-beda, tergantung dari jenisnya dan kemampuan untuk  beradaptasi dengan naik-turunnya kandungan oksigen. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan nila sebesar 5 mg/l(Salmin, 2005).

2.9.  Respirasi pada Ikan
Proses peningkatan oksigen dan pengeluaran karbondioksida oleh darah melalui permukaan alat pernafasan organism dengan lingkungannya dinamakan pernafasan (respirasi). Sistem organ yang berperan dalam hal ini adalah insang. Oksigen merupakan bahan pernafasan yang dibutuhkan oleh sel untuk berbagai reaksi metabolisme. Bagi ikan, oksigen diperlukan oleh tubuhnya untuk menghasilkan energi melalui oksidasi lemak dan gula (Triastuti et.al,. 2009).
Pertukaran gas oksigen dan karbondioksida dalam tubuh makhluk hidup disebut pernafasan atau respirasi. O2 dapat keluar masuk jaringan melalui difusi. Pada dasarnya metabolisme yang normal dalam sel-sel makhluk hidup memerlukan oksigen dan karbondiokdisa. Pada hewan vertebrata terlalu besar untuk dapat terjadinya interaksi secara langsung antara masing-masing sel tubuh dengan lingkungan luar tubuhnya. Untuk itu organ-organ tertentu yang bergabung dalam sistem pernafasan dikhususkan untuk melakukan pertukaran gas pernafasan bagi keperluan seluruh sel tubuhnya (Rida, 2008).
Adapun mekanisme pernapasan pada ikan secara singkat adalah: Pernafasan eksternal yaitu pertukaran oksigen (O2) dan CO2 yang terjadi anatara air dan darah atau udara dengan darah. Pernafasan internal yaitu pertukaran oksigen (O2) dengan CO2 yang terjadi antara darah dan sel-sel. Fungsi gurat sisi pada pisces berguna mengetahui perubahan tekanan air. Pernafasanb ikan terdiri dari dua fase yaitu fase inspirasi yang mengambil O2 dari air dan fase ekspirasi yang merupakan pengeluaran CO2. Perlu diketahui bahwa ikan bertulang sejati mempunyai tutup insang. Insang pada ikan terdiri dari rigi-rigi saringan, lengkung insang dan lembaran insang. Rigi-rigi berfungsi sebagai alat penyaring. Sedangkan lembaran insang, untuk memudahkan pertukaran udara antara darah dengan air(Rida, 2008).                                            


BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
3.1.    Tempat dan Waktu
Praktikum Fisiologi Hewan Air ini dilaksanakan di Laboratorium Dasar Perikanan, Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya pada hari Rabu, 18 Maret 2015 pukul 14.30 WIB sampai dengan selesai.

3.2.  Bahan dan Metode
3.2.1.  Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum respon ikan terhadap perubahan cahaya adalah :
     Tabel  3.2.1.  bahan yang digunakan dalam praktikum
No
Bahan
Spesifikasi
Fungsi
1
2
3
4
5
6
7
8
Air
Ikan Nila
Ikan Patin
Aerator
Cuter
DO meter
Sterofom
Toples
3  liter
2 ekor
2 ekor
3 buah
1 buah
1 buah
1 buah
1 buah
Media pemeliharaan ikan
Ikan yang diamati
Ikan yang diamati
Untuk menambah oksigen air
Untuk memotong sterofom
Untuk mengukur oksigen terlarut
Sebagai tutup wadah
Sebagai wadah ikan


3.2.2.  Metode    
1.  Siapkan 1 toples dan masukkan air sebanyak 3 liter.
2.  Ukur DO awal air yang ada pada toples.
3.  Masukkan ikan kedalam toples.
4.  Tutup toples menggunakan sterofom yang telah di bentuk.
5.  Masukkan selang aerator dan amati tingkah laku ikan selama 5 menit.
5.  Ukur DO akhir air pada toples.


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1     Hasil
Tabel 4.1.  Hasil pengamatan praktikum
Kelompok
DO awal
DO akhir
Respon ikan
1
6,92
7,48
Ikan bergerak cepat
2
6,99
7,3
Ikan bergerak cepat
3
6,45
7,66
Ikan bergerak sangat aktif
4
6,84
7,30
Ikan bergerak cepat
5
6,68
6,99
Ikan bergerak cepat dan overculum cepar

4.2.  Pembahasan
Seperti yang telah kita ketahui bahwa respirasi adalah suatu proses pengambilan oksigen diudara bebas dan mengeluarkan karbondioksida sisa dari respirasi. Respirasi pada semua hewan baik mamalia ataupun pada ikan pada prinsipnya adalah sama namun alat pernapasan yang dimiliki oleh setiap mahluk hidup memiliki keunikan dan organ yang berbeda dalam proses respirasi. Praktikum ini salah satu manfaatnya adalah untuk mengetahui fungsi dari aerator yang dapat menaikkan kada oksigen terlarut (DO)  yang nantinya akan digunakan ikan sebagai bahan respirasi dalam hidup ikan.
Proses pernapasan pada ikan adalah dengan cara membuka dan menutup mulut secara bergantian dengan membuka dan menutup tutup insang. Pada waktu mulut membuka, air masuk ke dalam rongga mulut sedangkan tutup insang menutup. Oksigen yang terlarut dalam air masuk berdifusi ke dalam pembuluh kapiler darah yang terdapat dalam insang. Dan pada waktu menutup, tutup insang membuka dan air dari rongga mulut keluar melalui insang. Bersamaan dengan keluarnya air melalui insang, karbondioksida dikeluarkan. Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi pada lembaran insang.
          Umumnya insang pada ikan terdiri dari 4 lembar tetapi yang sering dibahas ada 3 lembar bagian pada ikan yaitu tulang lengkung insang, tapis insang, dan filamen insang. Tulang lengkung insang pada ikan berfungsi sebagai tempat melekatnya organ-organ yang lain pada insang, sedangkan tapis insang adalah alat yang berguna sebagai penyaring makanan yang akan masuk kedalam tubuh ikan melalui insang. Tapis insang pada ikan predator dan ikan plankton feeder memiliki bentuk yang berbeda. Pada ikan predator, tapis insang bentuknya renggang dan tajam seerti duri yang berfungsi untuk mengoyak makanan yang masuk sedangkan pada ikan plankton feeder tapis insang berbentuk rapat dan halus yang berfungsi sebagai filter atau penyaring. Lembar terakhir yang ada pada insang ikan adalah filamen insang. Filamen insang adalah bagian pada insang yang sangat penting, fungsi dari filamen insang adalah untuk mengikat oksigen dari luar dan kemudian diedarkan keseluruh tubuh ikan.



BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.  Kesimpulan
1. Respirasi adalah suatu proses pengambilan oksigen dari udara dan pengeluaran karbondioksida.
2. Kadar oksigen terlarut (DO) dalam perairan sangat mempengaruhi respirasi pada ikan .
3.  Ikan bernapas menggunakan insang.
4.  Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi adalah suhu, kadar CO2 di dalam udara, ukuran tubuh, umur, aktifitas ikan, dan jenis kelamin.
5.  Temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kegiatan respirasi karena mekanisme pernafasan pada ikan diatur oleh mulut dan tutup insang.

5.2.  Saran

Sebaiknya saat praktikum tempat mengamati ikan diperluas sehingga semua praktikan bisa mengamati ikan dengan jelas.