BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Suhu merupakan faktor
penting dalam ekosistem perairan. Kenaikan suhu air menyebabkan kehidupan ikan
dan hewan air lainnya terganggu. Air memiliki beberapa sifat termal yang unik,
sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebih lambat dari pada udara. Suhu
sulit berubah di dalam air dari pada di udara, namun suhu merupakan faktor
pembatas utama, oleh karena itu hewan akuatik umumnya memiliki toleransi yang
sempit (Wibowo, 2007).
Penurunan suhu menyebabkan penghambatan proses fisiologi
bahkan dapat menyebabkan kematian. Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas
enzim pencernaan. Jika aktifitas enzim pencernaan meningkat maka laju
pencernaan juga akan semakin meningkat, sehingga tingkat pengosongan lambung
tinggi. Tingkat pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan cepat
lapar dan nafsu makannya meningkat. Jika konsumsi pakan tinggi, nutien
yang masuk kedalam tubuh ikan juga tinggi, dengan demikian ikan memiliki energi
yang cukup untuk pertumbuhan (Wibowo, 2007).
Perubahan parameter air secara nyata dapat diamati pada
tingkah laku ikan. Jika tingkah laku ikan cenderung gelisah, kemungkinan
adanya perubahan dari kualitas air seperti
fluktuasi suhu, kekurangan oksigen atau
masuknya bahan-bahan pencemar maupun pestisida. Sebaiknya untuk menjaga
kualitas air perlu dilakukan analisa kualitas air secara rutin pada periode
waktu tertentu. Apabila kondisinya memang mengkhawatirkan, maka segera
dilakukan tindakan-tindakan seperti dengan memindahkan ikan ke media yang lebih
aman atau dengan melakukan pergantian air (Ghufran, 2008).
Setiap
ikan yang ada dilingkungan perairan memiliki tingkat respon yang berbeda-beda
dengan jenis hewan lain. Sama halnya dengan ikan yang semula berada
dilingkungan bersuhu normal lalu dimasukkan kedalam lingkungan yang bersuhu
dingin, maka ikan akan menunjukkan respon terhadap lingkungannya. Begitu
sebaliknya untuk ikan yang diletakkan dilingkungan air bersuhu panas, ikan akan
menunjukkan respon sebagai upaya penyesuaian diri (Rustadi, 2012)
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini untuk
mengamati respon ikan terhadap suhu dingin, suhu panas dan perubahan suhu.
1.3. Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah
agar praktikan dapat mengetahui respon yang ditunjukkan oleh ikan patin dan
ikan nila akibat perubahan suhu yang ada dilingkungan hidupnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistematika dan Morfologi Ikan Patin (Pangasius pangasius)
Sistematika ikan patin (Pangasius pangasius) menurut Zaldi (2010),
yaitu sebagai berikut :
kingdom :
Animalia
filum :
Chordata
subfilum : Vertebrata
kelas : Pisces
subkelas : Teleostei
ordo : Ostariophysi
subordo : Siluroidei
famili : Schilbeidae
genus : Pengasius
spesies : Pangasius pangasius
subfilum : Vertebrata
kelas : Pisces
subkelas : Teleostei
ordo : Ostariophysi
subordo : Siluroidei
famili : Schilbeidae
genus : Pengasius
spesies : Pangasius pangasius
Ikan patin memiliki
warna tubuh putih keperak-perakan dan punggung kebiru-biruan, bentuk tubuh
memanjang, kepala relatif kecil, pada ujung kepala terdapat mulut yang
dilengkapi dua pasang sungut yang pendek. Pada sirip punggung memiliki
sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di
sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris. Ikan
patin tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif panjang yang terletak di
atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya
memiliki enam jari-jari lunak. Memiliki sirip dada 12-13 jari-jari lunak dan
sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal dengan patil,
di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat sirip lemak yang berukuran
kecil. Ikan Patin nama Inggrisnya Catfish,
yang termasuk dalam Famili Pangasidae,
Ikan Patin bersifat noktural (lebih banyak melakukan aktivitas di malam hari),
juga sifatnya yang Omnivora (pemakan segala macam makanan), antara lain cacing,
serangga, udang, ikan yang kecil–kecil dan biji-bijian , bahkan sabun detergen
batangan (Zaldi, 2010).
Ikan Patin, termasuk ikan dasar, dapat terlihat dari bentuk mulutnya
yang terletak lebih kebawah, dan habitat ikan ini di sungai–sungai besar , dan
muara– muara sungai, dan tersebar di Indonesia, Myanmar dan india. Banyak
kerabat Ikan Patin ini yang termasuk dalam keluarga Pangasidae ini, antara lain yang tersebar di Indonesia pada umumnya
memiliki ciri–ciri bentuk badannya sedikit memipih, tidak bersisik atau ada
yang bersisik sangat halus, mulutnya kecil dan ada sungutnya berjumlah 2-4
pasang yang berfungsi sebagai alat peraba, terdapat Patil atau panting pada sirip punggungnya juga
sirip dadanya, sirip duburnya panjang dimulai dari belakang dubur hingga sampai
pangkal sirip ekor (Tariga, 2012).
2.2. Habitat
Habitat dan penyebaran ikan patin dimana patin
tidak pernah ditemukan di daerah payau atau di air asin, Habitatnya di sungai
dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air (Zaldi, 2010).
Habitat atau lingkungan hidup ikan
patin banyak ditemukan di perairan air tawar, di dataran rendah sampai sedikit
payau. Penyebaran ikan patin di Indonesia berada di Pulai Jawa, Sumatera,
Sulawesi dan Kalimantan. Ikan patin secara alami berada di perairan umum, namum
seiring dengan semakin banyaknya petani yang membudidayakan ikan patin ini,
pemeliharaan ikan patin banyak dilakukan di kolam-kolam buatan (Zaldi, 2010).
2.3. Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan
ikan (food habits) adalah kualitas
dan kuantitas makanan yang dimakan ikan. Kebiasaan makan ikan diperlukan untuk
mengetahui gizi alamiah ikan tersebut sehingga dapat dilihat hubungan ekologi
diantara organisme diperairan itu, misalnya bentuk–bentuk pemangsaan, saingan
dan rantai makanan. Jadi makanan dapat merupakan faktor yang menentukan bagi
populasi pertumbuhan dan kondisi ikan. Jenis makanan dari spesies ikan biasanya
tergantung umur, tempat dan waktu
(Zaldi, 2010).
Ikan Patin termasuk ikan yang
beraktifitas pada malam hari atau nocturnal. Ia termasuk ikan ikan dasar
. Secara fisik memang dari bentuk mulut yang lebar persis seperti ikan demersal lain seperti lele dan ikan
gabus. Malam hari ia akan keluar dari lubangnya dan mencari makanan renik yang
terdiri dari cacing, serangga, udang sungai, jeni–jenis siput dan biji–bijian
juga. Dari sifat makannya ikan ini juga tergolong ikan yang sangat rakus karena
jumlah makannya yang besar. Ikan patin mempunyai kebiasaan
makan di dasar perairan atau kolam (bottom feeder). Berdasarkan jenis
pakannya, ikan patin digolongkan sebagai ikan yang bersifat omnivora (pemakan
segala).
Namun, pada fase larva, ikan patin cenderung bersifat karnivora. Pada saat
larva, ikan patin bersifat kanibalisme atau bersifat sebagai pemangsa. Oleh
karena itu, ketika masih dalam tahap larva, pemberian pakan tidak boleh
terlambat (Zaldi,
2010).
2.4. Kualitas Air
2.4.1. Suhu
Menurut
Lesmana (2001), suhu pada air mempengaruhi kecepatan reaksi kimia, baik dalam
media luar maupun dalam tubuh ikan. Suhu makin naik, maka reaksi kimia
akan ssemakin cepat, sedangkan konsentrasi gas akan semakin turun, termasuk
oksigen. Akibatnya, ikan akan membuat reaksi toleran dan tidak toleran. Naiknya
suhu, akan berpengaruh pada salinitas, sehingga ikan akan melakukan prosess
osmoregulasi. Oleh ikan dari daerah air payau akan malakukan yoleransi yang
tinggi dibandingkan ikan laut dan ikan tawar (Tariga, 2012)
Ikan
patin memiliki ukuran suhu tertentu untuk dapat bertahan hidup. Suhu merupakan
parameter yang sangat penting dalam mengetahui kualitas kehidupan ikan. Dalam
aspek kehidupan berbagai macam ikan tergantung pada kemampuan adapasi dari
masing-masing ikan. Suhu standar untuk kehidupan ikan patin adalah 280 -
320 C (Leugeu, 2009).
2.4.2. Derajat Keasaman
Manurut Ortazez (2010),
laju peningkatan pH akan dilakukan oleh nilai pH awal. Sebagai contoh :
kebutuhan jumlah ion karbonat perlu ditambahkan utuk meningkatkan satu satuan
pH akan jauh lebih banyak apabila awalnya 6,3 dibandingkan hal yang sama
dilakukan pada pH 7,5. kenaikan pH yang akan terjadi diimbangi oleh kadar
CO2 terlarut dalan air. Sehingga, CO2 akan menurunkan pH.
Kadar
keasaman perairan menentukan keadaan baik atau buruknya suatu perairan. pH
perairan yang terlalu tinggi dpat mengganggu kelangsungan hidup ikan, begitu
juga apabila pH perairan terlalu rendah maka metabolisme tubuh ikan juga akan
ikut terpengaruhi. Ikan patin dapat bertahan hidup pada lingkungan asam. Ikan
patin dapat bertahan hidup pada pH 6 (Effendi, 2007)
2.4.3. Oksigen
Terlarut
Oksigen
memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen
terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan
anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan
oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen
adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya
adalah nutrien yang dapat memberikan kesuburan perairan (Salmin, 2005)
Oksigen terlarut dalam air
merupakan parameter kualitas air yang sangat vital bagi kehidupan organisme
perairan. Konsentrasi oksigen terlarut cenderung berubah-ubah sesuai dengan
keadaan aimosfir. Penurunan kadar
oksigen lerlarut inempuuyai dampak nyata tcrhadap makhluk hidup air. Sumber utama oksigen terlarut daiam air adalah difusi dari udara dan hasil
fotosintesis organisme yang mempunyai klorofil yang hidup di perairan.
Kecepatan difusi oksigen dari udara ke dalam air berlangsung sangat lambat,
oleh sebab itu, fitoplankton merupakan sumber utama dalam penyediaan oksigen
terlarut dalam perairan. Ikan patin biasanya tinggal pada lingkungan yang
memiliki kadar oksigen terlarut dalam air pada kisaran oksigen
terlarut (DO) 5,12 – 6-40 ppm (Edward, 2003).
2.5. Sistematika dan Morfologi Ikan Nila (Oreochormis nilotichus)
Adapun
sistematika Ikan nila (Oreochromis
nilotichus) menurut Zaldi (2010), adalah sebagai berikut :
kindom :
Animalia
phylum : Chordata
class : Pisces
ordo : Pernoprophi
family : Chicildidae
genus : Oreocrhomis
spesies : Oreochromis nilotichus
phylum : Chordata
class : Pisces
ordo : Pernoprophi
family : Chicildidae
genus : Oreocrhomis
spesies : Oreochromis nilotichus
Ikan nila mempunyai nilai
bentuk tubuh yang pipih kearah vertical
(kompres) dengan profil empat persegi
panjang kearah anteroposterior,
posisi mulut terletak di ujung atau di sebut Terminal. Pada sirip ekor tampak jelas garis-garis yang vertical dan pada sirip punggungnya
garis terlihat condong lekuknya. Ciri ikan nila adalah garis-garis vertikal
berwarna hitam pada sirip, ekor, punggung dan dubur. Pada bagian sirip caudal/ekor
yang berbentuk membulat warna merah dan biasa digunakan sebagai indikasi
kematangan gonad atau kematangan telur ikan (Tariga, 2012).
Pada rahang
terdapat bercak kehitaman. Sisik ikan nila adalah tipe scenoid. Ikan nila juga ditandai dengan jari-jari darsal yang
keras, begitupun bagian awalnya. Dengan posisi siap awal dibagian belakang
sirip dada (abdormal). Ikan nila juga
mempunyai sisik yang berfungsi sebagai pengaturan keseimbangan dalam tubuhnya,
fungsi sisik ikan nila ini menggantikan fungsi lendir pada ikan yang tidak
memiliki sisik (Tariga, 2012).
2.6. Habitat
Ikan nila terkenal sebagai ikan yang sangat
tahan terhadap perubahan lingkungan hidup. Nila dapat hidup di lingkungan air
tawar, air payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0-35
permil. Ikan nila air tawar dapat dipindahkan ke air asin dengan proses
adaptasi yang bertahap. Kadar garam dinaikkan sedikit demi sedikit. Pemindahan
ikan nila secara mendadak ke dalam air yang berkadar garamnya sangat berbeda
dapat mengakibatkan stress dan kematian ikan (Tariga, 2012).
Ikan nila dapat hidup di perairan
yang dalam dan luas maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Nila juga dapat
hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya, di waduk, danau, rawa,
tambak air payau, atau di dalam jaring terapung di laut. Ikan nila termasuk
ikan yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang berubah-ubah dan memiliki
adaptasi yang baik , sehingga banyak tempat yang dapat dijadikan tempat hidup
ikan nila (Merantica, 2012).
2.7.
Kebiasaan Makan
Ikan nila
tergolong ikan pemakan segala (omnivora) sehingga bisa mengonsumsi pakan berupa
hewan atau tumbuhan.Karena itu, ikan ini sangat mudah dibudidayakan. Ketika
masih benih,pakan yang disukainya adalah zooplankton
(plankton hewani), seperti Rotifera sp, Moina sp, atau Daphnia sp (Tariga, 2012).
Selain itu benih nila juga memakan alga atau lumut yang
menempel di bebatuan yang ada di habitat hidupnya.Ketika dibudidayakan, nila
juga memakan tanaman air yang tumbuh di kolam budidaya. Jika telah mencapai
ukuran dewasa, ikan ini bisa diberi berbagai pakan tambahan seperti pelet
(Tariga, 2012).
2.8.
Kualitas Air
Kualitas air
adalah kondisi kalitatif air yang diukur dan atau di uji berdasarkan
parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter
kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis
( Masduqi, 2009).
Menurut
Acehpedia (2010), kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian
tertentu terhadap air tersebut. Pengujian yang dilakukan adalah uji kimia,
fisik, biologi, atau uji kenampakan (bau dan warna). Pengelolaan kualitas air
adalah upaya pemaliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan
sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kondisi air tetap dalam kondisi
alamiahnya.
2.8.1. Suhu
Menurut
Lesmana (2001), suhu pada air mempengaruhi kecepatan reaksi kimia, baik dalam
media luar maupun dalam tubuh ikan. Suhu makin naik, maka reaksi kimia
akan ssemakin cepat, sedangkan konsentrasi gas akan semakin turun, termasuk
oksigen. Akibatnya, ikan akan membuat reaksi toleran dan tidak toleran. Naiknya
suhu, akan berpengaruh pada salinitas, sehingga ikan akan melakukan prosess
osmoregulasi. Oleh ikan dari daerah air payau akan malakukan yoleransi yang
tinggi dibandingkan ikan laut dan ikan tawar.
Suhu optimal untuk ikan nila antara
25-300 C. oleh karena itu, ikan nila cocok dipelihara di dataran
rendah sampai agak tinggi (Leugeu, 2009).
2.4.2 Kadar Keasaman
Manurut Anonymaus (2010),
laju peningkatan pH akan dilakukan oleh nilai pH awal. Sebagai contoh :
kebutuhan jumlah ion karbonat perlu ditambahkan utuk meningkatkan satu satuan
pH akan jauh lebih banyak apabila awalnya 6,3 dibandingkan hal yang sama
dilakukan pada pH 7,5. kenaikan pH yang akan terjadi diimbangi oleh kadar
CO2 terlarut dalan air. Sehingga, CO2 akan menurunkan pH.
Nilai pH air
tempat hidup ikan nila berkisar antara 6-8,5. Namun, pertumbuhan optimal
terjadi pada pH 7-8. Ikan nila yang masih kecil lebih tahan terhadap perubahan
lingkungan dibandingkan ikan yang sudah besar.
2.8.3. Oksigen Terlarut
Oksigen
memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen
terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan
anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan
oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen
adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya
adalah nutrien yang dapat memberikan kesuburan perairan (Salmin, 2005)
Nilai
oksigen di dalam pengelolaan kesehatan ikan sangat penting karena kondisi yang
kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan dapat mengakibatkan ikan
stress sehingga mudah terserang penyakit. Kebutuhan oksigen untuk tiap jenis
biota air berbeda-beda, tergantung dari jenisnya dan kemampuan
untuk beradaptasi dengan naik-turunnya kandungan oksigen. Kandungan
oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan nila
sebesar 5 mg/l.
2.9. Pengaruh suhu air terhadap respon fisiologi
ikan
Air
merupakan media hidup organisme akuatik yang variabel lingkungannya selalu
berubah baik harian, musiman, bahkan tahunan. Kondisi lingkungan yang selalu
berubah tersebut akan mempengaruhi proses kehidupan organisme di dalamnya
khususnya ikan. Air sebagai lingkungan tempat hidup ikan harus mampu mendukung
kehidupan dan pertumbuhan ikan tersebut
(Arafad,
2010).
Tubuh ikan dapat merespon
perubahan lingkungan karena dilengkapi alat penerima rangsang (indera), baik
fisik maupun kimia. Misalnya mata, bertugas untuk menentukan perubahan cahaya, linea lateral merekam perubahan arus dan
gelombang, telinga dalam merekam perubahan arah dan gravitasi, indera pembau
dan pengecap. Perubahan lingkungan yang direkam alat indera tersebut dilaporkan
ke otak untuk selanjutnya dilakukan penyesuaian dengan cara perubahan tingkah
laku atau metabolisme untuk mengatasi gangguan keseimbangan (Fujaya, 2005).
Fototaksis adalah gerak taksis yang
disebabkan oleh adanya rangsangan berupa cahaya. Ikan tertarik pada cahaya
melalui penglihatan dan rangsangan melalui otak. Peristiwa tertariknya
ikan pada cahaya disebut fototaksis. Dengan demikian ikan yang tertarik oleh
cahaya hanyalah ikan-ikan fototaksis, yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis dan
sebagian kecil ikan demersal, sedangkan ikan-ikan yang tertarik oleh cahaya
atau menjauhi cahaya biasa disebut fotophobi
(Agus, 2005).
Penetrasi cahaya ke
dalam air sangat dipengaruhi oleh intensitas dan sudut datang cahaya, kondisi
permukaan air, dan bahan–bahan terlarut dan tersuspensi di dalam air. Cahaya
matahari yang mencapai permukaan perairan tersebut sebagian diserap dan
sebagian direfleksikan kembali. Sebagian cahaya matahari dipantulkan kembali
oleh permukaan air, dengan intensitas yang bervariasi menurut sudut datang
cahaya dan musim. Sudut datang cahaya matahari ke permukaan air bervariasi
secara harian (Agus, 2005).
Perubahan suhu
lingkungan juga mempunyai dampak yang buruk bagi kehidupan ikan. Apabila suhu
terlalu tinggi maka akan mengganggu keseimbangan yang ada dilingkungan. Suhu
yang terlalu tinggi akan membuat lingkungan menjadi hangat bahkan panas, hal
ini akan menyebabkan kadar oksigen terlarut (DO) dalam air menurun dan
menyebabkan pH meningkat. Kadar oksigen terlarut (DO) digunakan untuk bernapas
pada ika. Apabila kandungan DO rendah, hal ini akan mengganggu pernapasan pada
ikan. Selain itu, apabla suhu terlalu tinggi maka ikan akan mengalami stres dan
dampak terburuknya adalah kematian pada ikan yang tak terhindarkan (Fujaya,
2008)
BAB 3
METODOLOGI
PRAKTIKUM
3.1.
Waktu dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan Air ini dilaksanakan hari Rabu, 25 Februari 2015 pukul 14.30 WIB sampai dengan selesai di Laboratorium Dasar Perikanan Program Studi Budidaya
Perairan Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya, Indralaya.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun
alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum respon ikan terhadap lingkungan hiperosmotik,
isoosmoti dan hipoosmotik adalah sebagai berikut :
3.2.1
Tabel alat yang digunakan dalam praktikum
No
|
Alat
|
Spesifikasi
|
Fungsi
|
1
2
3
|
Toples
Tisu
Termometer
|
3 buah
1 buah
1 buah
|
Sebagai
wadah pemeliharaan ikan Untuk membersihkan toples dan peralatan lainnya
Untuk
mengukur suhu
air
|
3.2.2
Tabel bahan yang digunakan dalam praktikum
No
|
Bahan
|
Spesifikasi
|
Fungsi
|
1
2
3
4
5
|
Air
tawar
Ikan
patin
Ikan
nila
Air panas
Es batu
|
3 liter
2 ekor
2 ekor
Secukupnya
Secukupnya
|
Media
pemeliharaan ikan
Bahan
uji percobaan
Bahan
uji percobaan
Penambahan
suhu
air
Untuk menurunkan
suhu air
|
3.3 Cara Kerja
Adapun cara kerja dalam
praktikum ini adalah sebagai berikut :
1.
Bersihkan wadah yang akan digunakan
untuk lingkungan idup ikan.
2.
Isi toples dengan air 3 liter.
3.
Ukur suhu awal air dengan menggunakan
termometer dan kemudian catat berapa suhunya.
4.
Masukkan ikan kedalam toples yang telah
diukur suhu awalnya.
5.
Masukkan es batu yang telah di hancurkan
kedalam toples sampai suhu menjadi 150 C dan amati
respon kedua ikan selama 5 menit.
6.
Turunkan suhu menjadi 100 C dengan
menambahakan es batu yang telah dihancurkan sampai suhu yang
diinginkan, amati perbedaan respon kedua ikan.
BAB
4
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel
4.1., Suhu tetap dalam waktu 10 menit
No
|
Suhu
|
Reaspon
|
|
Nila
|
Patin
|
||
1
|
10 0C
|
Pingsan, bergerak pasif
|
Normal (terus bergerak
aktif)
|
2
|
150C
|
Maih bergerak aktif
|
Kehilangan keseimbangan
|
3
|
200C
|
Tdak banyak perubahan,
tidak ada feses
|
Gerakan melemah, sungut
memerah, banyak lender.
|
4
|
250C
|
Masih bergerak aktif
|
Masigh tetap bergerak
|
5
|
300C
|
Normal ada feses
|
Berlendir dan normal
|
6
|
350C
|
Kedudukan dian terang dan feses
|
Pasif, lender, operkuum cepat,
|
7
|
400C
|
Berlendir dan aktif
berenang dan mengapung
|
Gerakan hilang kendali,
operculum berhenti,dan mati
|
Tabel
4.2., Suhu diturunkan dalam waktu 10 menit pada
tiap perlakuan
No
|
Suhu
|
Respon ikan
|
|
Ikan Patin
|
Ikan Nila
|
||
1
|
35 0C
|
Normal (terus bergerak
aktif), operculum terbuka terus, masih bisa bertahan
|
Bergerak tidak aktif,
stress, operculum terbuka dan berlendir,
|
2
|
30 0C
|
Bergerak aktif, operculum
normal dan gerakan normal
|
Gerakan normal dan
operkulum normal
|
3
|
25 0C
|
Masih normal dan ada
lender
|
Operculum normal
|
Tabel
4.3., Suhu dinaikkan dalam waktu 10 menit pada saat perlakuan
No
|
Salinitas
|
Respon ikan
|
|
Ikan Patin
|
Ikan Nila
|
||
1
|
10 0C
|
Santai lalu pingsan
|
Stress, gerakan tak
terkendali, pingsan
|
2
|
200C
|
Bergerak aktif kembali
|
Menggerakkan ekor ttpi
tetap pingsan
|
3
|
300C
|
Bebas bergerak
|
Lemas dan pingsan
|
4.2. Pembahasan
Ikan memiliki
kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya,
BAB
5
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari
praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Ikan
akan mencoba mempertahankan tekanan osmotiknya melalui banyak gerak, banyak
mengeluarkan urin dan feses pada lingkungan bersalinitas.
2. Ikan
patin yang tidak memiliki sisik dan ikan nila yang memiliki sisik akan berbeda
responnya terhadap lingkungan yang bersalinitas.
3. Ikan
patin akan lebih banyak mengeluarkan lendir dibanding ikan nila sebagai upaya
menjaga keseimbangan tekanan osmotik.
4. Ikan
nila dan ikan pati termasuk ikan air tawar atau yang biasa disebut potadromus.
5. ikan
nila dan ikan patin termasuk ikan yang memiliki sistem osmoregulasi
hiperosmotik.
5.2 Saran
Sebaiknya dalam
pengamatan respon ikan terhada lingkungan hiperosmotik, hipoosmotik dan
isoosmotik ini dilakukan dan diamati dengan teliti agar hasil yang didapat
akurat dan bisa dilihat perbedaan secara spesifik antara respon ikan nila dan
ikan patin terhadap lingkungan yang bersalinitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Arafad, 2010. Pengaruh Suhu, Salinitas, Arus dan Cahaya. (http://prikanan.blogspot.com/2012/10/pengaruh-suhu-salinitas-arus
-cahaya-dan_3609.html
diakses pada tanggal 22 Februari 2015)
Fujaya, Y. 2005. Fisiologi Ikan “Dasar Pengembangan Teknik Perikanan”. Rineka Cipta, Jakarta.
Hariyadi,B.2005.Fisiologi Hewan II. Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Leugeu.2009. Ikan Nila(Oreochromis
nilotichus) (http://leugeu.wordpress.com /2009/12/25/nila-oreochromis-niloticus/)
diakses pada tanggal 22 Februari 2015)
Tariga,rani.2012.Sistematika, Anatomi, Fisiologi, dan Morfologi Ikan Nila (http://ranietariga.blogspot.com/2012/03/sistematika-anatomi-fisiologi-dan
morfologi-ikan-nila.html
diakses pada tanggal 22 Februari 2015)
Zaldi.2010.Morfologi ikan nila dan ikan patin.
(http://blogspotperikanan.com.234/2010/nilapatinmorfologo.html di akses tanggal
22 Februari 2015)