Saturday 10 October 2015

laporan perubahan suhu

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Suhu merupakan faktor penting dalam ekosistem perairan. Kenaikan suhu air menyebabkan kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Air memiliki beberapa sifat termal yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebih lambat dari pada udara. Suhu sulit berubah di dalam air dari pada di udara, namun suhu merupakan faktor pembatas utama, oleh karena itu hewan akuatik umumnya memiliki toleransi yang sempit (Wibowo, 2007).
Penurunan suhu menyebabkan penghambatan proses fisiologi bahkan dapat menyebabkan kematian. Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan. Jika aktifitas enzim pencernaan meningkat maka laju pencernaan juga akan semakin meningkat, sehingga tingkat pengosongan lambung tinggi.  Tingkat pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan cepat lapar dan nafsu makannya meningkat.  Jika konsumsi pakan tinggi, nutien yang masuk kedalam tubuh ikan juga tinggi, dengan demikian ikan memiliki energi yang cukup untuk pertumbuhan (Wibowo, 2007).
          Perubahan parameter air secara nyata dapat diamati pada tingkah laku ikan. Jika tingkah laku ikan cenderung gelisah, kemungkinan adanya perubahan dari kualitas air seperti fluktuasi suhu, kekurangan oksigen atau masuknya bahan-bahan pencemar maupun pestisida. Sebaiknya untuk menjaga kualitas air perlu dilakukan analisa kualitas air secara rutin pada periode waktu tertentu. Apabila kondisinya memang mengkhawatirkan, maka segera dilakukan tindakan-tindakan seperti dengan memindahkan ikan ke media yang lebih aman atau dengan melakukan pergantian air (Ghufran, 2008).
          Setiap ikan yang ada dilingkungan perairan memiliki tingkat respon yang berbeda-beda dengan jenis hewan lain. Sama halnya dengan ikan yang semula berada dilingkungan bersuhu normal lalu dimasukkan kedalam lingkungan yang bersuhu dingin, maka ikan akan menunjukkan respon terhadap lingkungannya. Begitu sebaliknya untuk ikan yang diletakkan dilingkungan air bersuhu panas, ikan akan menunjukkan respon sebagai upaya penyesuaian diri (Rustadi, 2012)
1.2.  Tujuan
Tujuan dari praktikum ini untuk mengamati respon ikan terhadap suhu dingin, suhu panas dan perubahan suhu.

1.3. Manfaat
            Manfaat dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat mengetahui respon yang ditunjukkan oleh ikan patin dan ikan nila akibat perubahan suhu yang ada dilingkungan hidupnya.






















 



BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.  Sistematika dan Morfologi Ikan Patin (Pangasius pangasius)
Sistematika ikan patin (Pangasius pangasius) menurut Zaldi (2010), yaitu sebagai berikut :
kingdom                 : Animalia
filum                      : Chordata
subfilum                 : Vertebrata
kelas                       : Pisces
subkelas                 : Teleostei
ordo                       : Ostariophysi
subordo                  : Siluroidei
famili                      : Schilbeidae
genus                      : Pengasius
spesies                    : Pangasius pangasius
Ikan patin memiliki warna tubuh putih keperak-perakan dan punggung kebiru-biruan, bentuk tubuh memanjang, kepala relatif kecil, pada ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua pasang sungut yang  pendek. Pada sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris. Ikan patin tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif  panjang yang terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Memiliki sirip dada 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal dengan patil, di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat sirip lemak yang berukuran kecil. Ikan Patin nama Inggrisnya Catfish, yang termasuk dalam Famili Pangasidae, Ikan Patin bersifat noktural (lebih banyak melakukan aktivitas di malam hari), juga sifatnya yang Omnivora (pemakan segala macam makanan), antara lain cacing, serangga, udang, ikan yang kecil–kecil dan biji-bijian , bahkan sabun detergen batangan (Zaldi, 2010).
        Ikan Patin, termasuk ikan dasar, dapat terlihat dari bentuk mulutnya yang terletak lebih kebawah, dan habitat ikan ini di sungai–sungai besar , dan muara– muara sungai, dan tersebar di Indonesia, Myanmar dan india. Banyak kerabat Ikan Patin ini yang termasuk dalam keluarga Pangasidae ini, antara lain yang tersebar di Indonesia pada umumnya memiliki ciri–ciri bentuk badannya sedikit memipih, tidak bersisik atau ada yang bersisik sangat halus, mulutnya kecil dan ada sungutnya berjumlah 2-4 pasang yang berfungsi sebagai alat peraba, terdapat Patil atau panting pada sirip punggungnya juga sirip dadanya, sirip duburnya panjang dimulai dari belakang dubur hingga sampai pangkal sirip ekor (Tariga, 2012).

2.2.  Habitat
Habitat dan penyebaran ikan patin dimana patin tidak pernah ditemukan di daerah payau atau di air asin, Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air (Zaldi, 2010).
Habitat atau lingkungan hidup ikan patin banyak ditemukan di perairan air tawar, di dataran rendah sampai sedikit payau. Penyebaran ikan patin di Indonesia berada di Pulai Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Ikan patin secara alami berada di perairan umum, namum seiring dengan semakin banyaknya petani yang membudidayakan ikan patin ini, pemeliharaan ikan patin banyak dilakukan di kolam-kolam buatan (Zaldi, 2010).

2.3.  Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan ikan (food habits) adalah kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan ikan. Kebiasaan makan ikan diperlukan untuk mengetahui gizi alamiah ikan tersebut sehingga dapat dilihat hubungan ekologi diantara organisme diperairan itu, misalnya bentuk–bentuk pemangsaan, saingan dan rantai makanan. Jadi makanan dapat merupakan faktor yang menentukan bagi populasi pertumbuhan dan kondisi ikan. Jenis makanan dari spesies ikan biasanya tergantung umur, tempat dan waktu (Zaldi, 2010).
Ikan Patin termasuk ikan yang beraktifitas pada malam hari atau nocturnal. Ia termasuk ikan ikan dasar . Secara fisik memang dari bentuk mulut yang lebar persis seperti ikan demersal lain seperti lele dan ikan gabus. Malam hari ia akan keluar dari lubangnya dan mencari makanan renik yang terdiri dari cacing, serangga, udang sungai, jeni–jenis siput dan biji–bijian juga. Dari sifat makannya ikan ini juga tergolong ikan yang sangat rakus karena jumlah makannya yang besar. Ikan patin mempunyai kebiasaan makan di dasar perairan atau kolam (bottom feeder). Berdasarkan jenis pakannya, ikan patin digolongkan sebagai ikan yang bersifat omnivora (pemakan segala). Namun, pada fase larva, ikan patin cenderung bersifat karnivora. Pada saat larva, ikan patin bersifat kanibalisme atau bersifat sebagai pemangsa. Oleh karena itu, ketika masih dalam tahap larva, pemberian pakan tidak boleh terlambat (Zaldi, 2010).

2.4.  Kualitas Air
2.4.1.  Suhu
Menurut Lesmana (2001), suhu pada air mempengaruhi kecepatan reaksi kimia, baik dalam media luar maupun dalam tubuh ikan.  Suhu makin naik, maka reaksi kimia akan ssemakin cepat, sedangkan konsentrasi gas akan semakin turun, termasuk oksigen. Akibatnya, ikan akan membuat reaksi toleran dan tidak toleran. Naiknya suhu, akan berpengaruh pada salinitas, sehingga ikan akan melakukan prosess osmoregulasi. Oleh ikan dari daerah air payau akan malakukan yoleransi yang tinggi dibandingkan ikan laut dan ikan tawar (Tariga, 2012)
   Ikan patin memiliki ukuran suhu tertentu untuk dapat bertahan hidup. Suhu merupakan parameter yang sangat penting dalam mengetahui kualitas kehidupan ikan. Dalam aspek kehidupan berbagai macam ikan tergantung pada kemampuan adapasi dari masing-masing ikan. Suhu standar untuk kehidupan ikan patin adalah 280 - 320 C (Leugeu, 2009).

2.4.2.  Derajat Keasaman
 Manurut Ortazez (2010), laju peningkatan pH akan dilakukan oleh nilai pH awal. Sebagai contoh : kebutuhan jumlah ion karbonat perlu ditambahkan utuk meningkatkan satu satuan pH akan jauh lebih banyak apabila awalnya 6,3 dibandingkan hal yang sama dilakukan pada pH 7,5. kenaikan pH yang  akan terjadi diimbangi oleh kadar CO2 terlarut dalan air. Sehingga, CO2 akan menurunkan pH.
Kadar keasaman perairan menentukan keadaan baik atau buruknya suatu perairan. pH perairan yang terlalu tinggi dpat mengganggu kelangsungan hidup ikan, begitu juga apabila pH perairan terlalu rendah maka metabolisme tubuh ikan juga akan ikut terpengaruhi. Ikan patin dapat bertahan hidup pada lingkungan asam. Ikan patin dapat bertahan hidup pada pH 6 (Effendi, 2007)

2.4.3.  Oksigen Terlarut
   Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang dapat memberikan kesuburan perairan (Salmin, 2005)
Oksigen terlarut dalam air merupakan param­eter kualitas air yang sangat vital bagi kehidupan organisme perairan. Konsentrasi oksigen terlarut cenderung berubah-ubah sesuai dengan keadaan aimosfir. Penurunan kadar oksigen lerlarut inempuuyai dampak nyata tcrhadap makhluk hidup air. Sumber utama oksigen terlarut daiam air adalah difusi dari udara dan hasil fotosintesis organisme yang mempunyai klorofil yang hidup di perairan. Kecepatan difusi oksigen dari udara ke dalam air berlangsung sangat lambat, oleh sebab itu, fitoplankton merupakan sumber utama dalam penyediaan oksigen terlarut dalam perairan. Ikan patin biasanya tinggal pada lingkungan yang memiliki kadar oksigen terlarut dalam air pada kisaran oksigen terlarut (DO) 5,12 – 6-40 ppm (Edward, 2003).

2.5.  Sistematika dan Morfologi Ikan Nila (Oreochormis nilotichus)
          Adapun sistematika Ikan nila (Oreochromis nilotichus) menurut Zaldi (2010), adalah sebagai berikut :
kindom            : Animalia
phylum            : Chordata
class                 : Pisces
ordo                 :
Pernoprophi
family              :
Chicildidae
genus               : Oreocrhomis
spesies              : Oreochromis nilotichus
          Ikan nila mempunyai nilai bentuk tubuh yang pipih kearah vertical (kompres) dengan profil empat persegi panjang kearah anteroposterior, posisi mulut terletak di ujung atau di sebut Terminal. Pada sirip ekor tampak jelas garis-garis yang vertical dan pada sirip punggungnya garis terlihat condong lekuknya. Ciri ikan nila adalah garis-garis vertikal berwarna hitam pada sirip, ekor, punggung dan dubur. Pada bagian sirip caudal/ekor yang berbentuk membulat warna merah dan biasa digunakan  sebagai indikasi kematangan gonad atau kematangan telur ikan (Tariga, 2012).
Pada rahang terdapat bercak kehitaman. Sisik ikan nila adalah tipe scenoid. Ikan nila juga ditandai dengan jari-jari darsal yang keras, begitupun bagian awalnya. Dengan posisi siap awal dibagian belakang sirip dada (abdormal). Ikan nila juga mempunyai sisik yang berfungsi sebagai pengaturan keseimbangan dalam tubuhnya, fungsi sisik ikan nila ini menggantikan fungsi lendir pada ikan yang tidak memiliki sisik (Tariga, 2012).

2.6.  Habitat
 Ikan nila terkenal sebagai ikan yang sangat tahan terhadap perubahan lingkungan hidup. Nila dapat hidup di lingkungan air tawar, air payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0-35 permil. Ikan nila air tawar dapat dipindahkan ke air asin dengan proses adaptasi yang bertahap. Kadar garam dinaikkan sedikit demi sedikit. Pemindahan ikan nila secara mendadak ke dalam air yang berkadar garamnya sangat berbeda dapat mengakibatkan stress dan kematian ikan (Tariga, 2012).
Ikan nila dapat hidup di perairan yang dalam dan luas maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Nila juga dapat hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya, di waduk, danau, rawa, tambak air payau, atau di dalam jaring terapung di laut. Ikan nila termasuk ikan yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang berubah-ubah dan memiliki adaptasi yang baik , sehingga banyak tempat yang dapat dijadikan tempat hidup ikan nila (Merantica, 2012).

2.7.  Kebiasaan Makan
          Ikan nila tergolong ikan pemakan segala (omnivora) sehingga bisa mengonsumsi pakan berupa hewan atau tumbuhan.Karena itu, ikan ini sangat mudah dibudidayakan. Ketika masih benih,pakan yang disukainya adalah zooplankton (plankton hewani), seperti Rotifera sp, Moina sp, atau Daphnia sp (Tariga, 2012).
          Selain itu benih nila juga memakan alga atau lumut yang menempel di bebatuan yang ada di habitat hidupnya.Ketika dibudidayakan, nila juga memakan tanaman air yang tumbuh di kolam budidaya. Jika telah mencapai ukuran dewasa, ikan ini bisa diberi berbagai pakan tambahan seperti pelet (Tariga, 2012).

2.8.  Kualitas Air      
Kualitas air adalah kondisi kalitatif air yang diukur dan atau di uji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis ( Masduqi, 2009).
Menurut Acehpedia (2010), kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Pengujian yang dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi, atau uji kenampakan (bau dan warna). Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemaliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kondisi air tetap dalam kondisi alamiahnya.
2.8.1.  Suhu
   Menurut Lesmana (2001), suhu pada air mempengaruhi kecepatan reaksi kimia, baik dalam media luar maupun dalam tubuh ikan.  Suhu makin naik, maka reaksi kimia akan ssemakin cepat, sedangkan konsentrasi gas akan semakin turun, termasuk oksigen. Akibatnya, ikan akan membuat reaksi toleran dan tidak toleran. Naiknya suhu, akan berpengaruh pada salinitas, sehingga ikan akan melakukan prosess osmoregulasi. Oleh ikan dari daerah air payau akan malakukan yoleransi yang tinggi dibandingkan ikan laut dan ikan tawar.
 Suhu optimal untuk ikan nila antara 25-300 C. oleh karena itu, ikan nila cocok dipelihara di dataran rendah sampai agak tinggi (Leugeu, 2009).

2.4.2  Kadar Keasaman
Manurut Anonymaus (2010), laju peningkatan pH akan dilakukan oleh nilai pH awal. Sebagai contoh : kebutuhan jumlah ion karbonat perlu ditambahkan utuk meningkatkan satu satuan pH akan jauh lebih banyak apabila awalnya 6,3 dibandingkan hal yang sama dilakukan pada pH 7,5. kenaikan pH yang  akan terjadi diimbangi oleh kadar CO2 terlarut dalan air. Sehingga, CO2 akan menurunkan pH.
Nilai pH air tempat hidup ikan nila berkisar antara 6-8,5. Namun, pertumbuhan optimal terjadi pada pH 7-8. Ikan nila yang masih kecil lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dibandingkan ikan yang sudah besar.

2.8.3.  Oksigen Terlarut
   Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang dapat memberikan kesuburan perairan (Salmin, 2005)
Nilai oksigen di dalam pengelolaan kesehatan ikan sangat penting karena kondisi yang kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan dapat mengakibatkan ikan stress sehingga mudah terserang penyakit. Kebutuhan oksigen untuk tiap jenis biota air berbeda-beda, tergantung dari jenisnya dan kemampuan untuk  beradaptasi dengan naik-turunnya kandungan oksigen. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan nila sebesar 5 mg/l.

2.9.  Pengaruh suhu air terhadap respon fisiologi ikan
            Air merupakan media hidup organisme akuatik yang variabel lingkungannya selalu berubah baik harian, musiman, bahkan tahunan. Kondisi lingkungan yang selalu berubah tersebut akan mempengaruhi proses kehidupan organisme di dalamnya khususnya ikan. Air sebagai lingkungan tempat hidup ikan harus mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan tersebut  (Arafad, 2010).
            Tubuh ikan dapat merespon perubahan lingkungan karena dilengkapi alat penerima rangsang (indera), baik fisik maupun kimia. Misalnya mata, bertugas untuk menentukan perubahan cahaya, linea lateral merekam perubahan arus dan gelombang, telinga dalam merekam perubahan arah dan gravitasi, indera pembau dan pengecap. Perubahan lingkungan yang direkam alat indera tersebut dilaporkan ke otak untuk selanjutnya dilakukan penyesuaian dengan cara perubahan tingkah laku atau metabolisme untuk mengatasi gangguan keseimbangan (Fujaya, 2005).
Fototaksis adalah gerak taksis yang disebabkan oleh adanya rangsangan berupa cahaya. Ikan tertarik pada cahaya melalui penglihatan dan rangsangan melalui otak. Peristiwa tertariknya  ikan pada cahaya disebut fototaksis. Dengan demikian ikan yang tertarik oleh cahaya hanyalah ikan-ikan fototaksis, yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis dan sebagian kecil ikan demersal, sedangkan ikan-ikan yang tertarik oleh cahaya atau menjauhi cahaya biasa disebut fotophobi (Agus, 2005).                                                                                 
Penetrasi cahaya ke dalam air sangat dipengaruhi oleh intensitas dan sudut datang cahaya, kondisi permukaan air, dan bahan–bahan terlarut dan tersuspensi di dalam air. Cahaya matahari yang mencapai permukaan perairan tersebut sebagian diserap dan sebagian direfleksikan kembali. Sebagian cahaya matahari dipantulkan kembali oleh permukaan air, dengan intensitas yang bervariasi menurut sudut datang cahaya dan musim. Sudut datang cahaya matahari ke permukaan air bervariasi secara harian (Agus, 2005).
Perubahan suhu lingkungan juga mempunyai dampak yang buruk bagi kehidupan ikan. Apabila suhu terlalu tinggi maka akan mengganggu keseimbangan yang ada dilingkungan. Suhu yang terlalu tinggi akan membuat lingkungan menjadi hangat bahkan panas, hal ini akan menyebabkan kadar oksigen terlarut (DO) dalam air menurun dan menyebabkan pH meningkat. Kadar oksigen terlarut (DO) digunakan untuk bernapas pada ika. Apabila kandungan DO rendah, hal ini akan mengganggu pernapasan pada ikan. Selain itu, apabla suhu terlalu tinggi maka ikan akan mengalami stres dan dampak terburuknya adalah kematian pada ikan yang tak terhindarkan (Fujaya, 2008)


















BAB 3
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1.  Waktu dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan Air ini dilaksanakan hari Rabu, 25 Februari 2015 pukul 14.30 WIB sampai dengan selesai di Laboratorium Dasar Perikanan Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya.


          3.2  Alat dan Bahan
                 Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum respon ikan terhadap lingkungan hiperosmotik, isoosmoti dan hipoosmotik adalah sebagai berikut :
          3.2.1  Tabel alat yang digunakan dalam praktikum
No
Alat
Spesifikasi
Fungsi
1
2

3

Toples
Tisu

Termometer
3 buah
1 buah

1 buah

Sebagai wadah pemeliharaan ikan Untuk membersihkan toples dan peralatan lainnya
Untuk mengukur suhu air

     3.2.2  Tabel bahan yang digunakan dalam praktikum
No
Bahan
Spesifikasi
Fungsi
1
2
3
4
5
Air tawar
Ikan patin
Ikan nila
Air panas
Es batu
3  liter
2 ekor
2 ekor
Secukupnya
Secukupnya
Media pemeliharaan ikan
Bahan uji percobaan
Bahan uji percobaan
Penambahan suhu air
Untuk menurunkan suhu air


3.3  Cara Kerja
Adapun cara kerja dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :
1.      Bersihkan wadah yang akan digunakan untuk lingkungan idup ikan.
2.      Isi toples dengan air 3 liter.
3.      Ukur suhu awal air dengan menggunakan termometer dan kemudian catat berapa suhunya.
4.      Masukkan ikan kedalam toples yang telah diukur suhu awalnya.
5.      Masukkan es batu yang telah di hancurkan kedalam toples sampai suhu menjadi 150 C dan amati respon kedua ikan selama 5 menit.
6.      Turunkan suhu menjadi 100 C dengan menambahakan es batu yang telah dihancurkan sampai suhu yang diinginkan, amati perbedaan respon kedua ikan.






















 



BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1   Hasil
Tabel 4.1.,  Suhu tetap dalam waktu 10 menit
No
Suhu
Reaspon
Nila
Patin
1
10 0C
Pingsan, bergerak pasif
Normal (terus bergerak aktif)
2
150C
Maih bergerak aktif
Kehilangan keseimbangan
3
200C
Tdak banyak perubahan, tidak ada feses
Gerakan melemah, sungut memerah, banyak lender.
4
250C
Masih bergerak aktif
Masigh tetap bergerak
5
300C
Normal ada feses
Berlendir dan normal
6
350C
Kedudukan dian terang dan feses
Pasif, lender, operkuum cepat,
7
400C
Berlendir dan aktif berenang dan mengapung
Gerakan hilang kendali, operculum berhenti,dan mati

Tabel 4.2.,  Suhu diturunkan dalam waktu 10 menit pada tiap perlakuan
No
Suhu
Respon ikan
Ikan Patin
Ikan Nila
1
35  0C   
Normal (terus bergerak aktif), operculum terbuka terus, masih bisa bertahan
Bergerak tidak aktif, stress, operculum terbuka dan berlendir,
2
30 0C  
Bergerak aktif, operculum normal  dan gerakan normal
Gerakan normal dan operkulum normal
3
25 0C  
Masih normal dan ada lender
Operculum normal


Tabel 4.3., Suhu dinaikkan dalam waktu 10 menit pada saat perlakuan
No
Salinitas
Respon ikan
Ikan Patin
Ikan Nila
1
10 0C  
Santai lalu pingsan
Stress, gerakan tak terkendali, pingsan
2
    200C
Bergerak aktif kembali
Menggerakkan ekor ttpi tetap pingsan
3
 300C
Bebas bergerak
Lemas dan pingsan





















4.2.  Pembahasan
Ikan memiliki kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya,
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1  Kesimpulan
            Kesimpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1.    Ikan akan mencoba mempertahankan tekanan osmotiknya melalui banyak gerak, banyak mengeluarkan urin dan feses pada lingkungan bersalinitas.
2.    Ikan patin yang tidak memiliki sisik dan ikan nila yang memiliki sisik akan berbeda responnya terhadap lingkungan yang bersalinitas.
3.    Ikan patin akan lebih banyak mengeluarkan lendir dibanding ikan nila sebagai upaya menjaga keseimbangan tekanan osmotik.
4.    Ikan nila dan ikan pati termasuk ikan air tawar atau yang biasa disebut potadromus.
5.    ikan nila dan ikan patin termasuk ikan yang memiliki sistem osmoregulasi hiperosmotik.

5.2  Saran
            Sebaiknya dalam pengamatan respon ikan terhada lingkungan hiperosmotik, hipoosmotik dan isoosmotik ini dilakukan dan diamati dengan teliti agar hasil yang didapat akurat dan bisa dilihat perbedaan secara spesifik antara respon ikan nila dan ikan patin terhadap lingkungan yang bersalinitas.







 


DAFTAR PUSTAKA
Arafad, 2010. Pengaruh Suhu, Salinitas, Arus dan Cahaya. (http://prikanan.blogspot.com/2012/10/pengaruh-suhu-salinitas-arus -cahaya-dan_3609.html diakses pada tanggal 22 Februari 2015)
Fujaya, Y. 2005. Fisiologi Ikan “Dasar Pengembangan Teknik Perikanan”. Rineka Cipta, Jakarta.
Hariyadi,B.2005.Fisiologi Hewan II. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Leugeu.2009. Ikan Nila(Oreochromis nilotichus) (http://leugeu.wordpress.com /2009/12/25/nila-oreochromis-niloticus/) diakses pada tanggal 22 Februari 2015)
Tariga,rani.2012.Sistematika, Anatomi, Fisiologi, dan  Morfologi Ikan Nila (http://ranietariga.blogspot.com/2012/03/sistematika-anatomi-fisiologi-dan morfologi-ikan-nila.html diakses pada tanggal 22 Februari 2015)
Zaldi.2010.Morfologi ikan nila dan ikan patin. (http://blogspotperikanan.com.234/2010/nilapatinmorfologo.html di akses tanggal 22 Februari 2015)